Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
- No tags were found...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
intelektual sangat menggantungkan diri pada belas<br />
kasihan negara dan lembaga pemberi utang. Sikap mental<br />
dan intelektual ini sangat jauh berbeda dengan elit<br />
pengambil kebijakan ekonomi di negara-negara Asia<br />
lainnya seperti Goh Keng Swee dan Lee Kwan Yew<br />
(Singapura), Mahathir Muhammad dan Daim Zainudin<br />
(Malaysia), Park Chung Hee (Korea), dan Deng Xiao Ping /<br />
Jiang Zemin dan Zhu Rongji (Cina).<br />
Elit pengambil kebijakan ekonomi di negara-negara<br />
Asia Timur memiliki rasa percaya diri yang besar dan tidak<br />
memiliki ketergantungan mental dan intelektual kepada<br />
hutang. Mereka dengan sadar meningkatkan tabungan,<br />
investasi dan produktifitas. Sehingga ke tergantungan<br />
mereka kepada hutang luar negeri relatif kecil. Sementara<br />
elit pengambil kebijakan di <strong>Indonesia</strong> di nina-bobokan oleh<br />
sumber daya minyak dan hutan yang berlimpah dan hanya<br />
terlatih menjadi hamba pencari hutang.<br />
Ketika krisis ekonomi melanda Asia pada pertengahan<br />
1997, negara-negara Asia Timur dan Tenggara tersebut<br />
justru memanfaatkan krisis ekonomi sebagai momentum<br />
historis untuk melakukan berbagai langkah perbaikan<br />
struktural. Mahathir misalnya, dengan sadar menolak<br />
resep IMF karena pasti akan menimbulkan gejolak ekonomi<br />
dan politik di Malaysia. Hasilnya sangat menggembirakan<br />
dalam bentuk stabilitas ekonomi dan finansial Malaysia;<br />
pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja juga<br />
tinggi.<br />
Singapura, melanjutkan tradisi berfikir Goh Keng<br />
Swee (arsitek ekonomi Singapura) yang kritis terhadap<br />
dampak negatif dari kapitalisme predatori, mengambil<br />
langkah-Iangkah penguatan lembaga keuangan dalam<br />
negeri dan perbaikan corporate govemance untuk meredam<br />
badai krisis moneter.<br />
Perdana Menteri Chuan Leekpai dari Thailand yang<br />
semula mengikuti resep IMF dan banyak dipuji oleh<br />
kreditor akhirnya justru 'digulingkan' oleh rakyat melalui<br />
pemilu yang memilih PM Thaksin secara mutlak. Nasib<br />
Chuan Leekpai sama dengan Megawati dipuji oleh IMF<br />
tetapi dikalahkan secara telak oleh rakyat. Dengan<br />
mandat kemenangan yang besar, Thaksin dengan cepat<br />
mengubah kebijakan yang tadinya pro-IMF menjadi pro<br />
rakyat dan ternyata hasilnya sangat menggembirakan<br />
baik dari segi pertumbuhan ekonomi, investasi maupun<br />
penciptaan lapangan kerja. Sayangnya kemudian, warna<br />
otoriter Thaksin terlalu kuat sehingga memancing oposisi<br />
dari golongan menengah.<br />
<strong>Indonesia</strong> justru sebaliknya, krisis ekonomi semakin<br />
meningkatkan ketergantungan kepada pola berfikir IMF<br />
terutama karena elit pengambil kebijakan ekonomi tidak<br />
kreatif dan memiliki ketergantungan mental dan intelektual<br />
yang sangat kuat terhadap hutang dan pola berfikir IMF<br />
yang konservatif dan sangat monetaris. Sebagai akibatnya,<br />
total hutang meningkat menjadi dua kalinya, dan<br />
pengangguran sangat tinggi. Sementara propaganda<br />
bahwa investasi akan masuk jika <strong>Indonesia</strong> manut IMF,<br />
cuman angin sorga. Tim Ekonomi Megawati yang pro IMF<br />
dan banyak dipuji kreditor justru menjadi salah satu faktor<br />
penyebab kekalahan telak Megawati di Pemilu legislatif<br />
maupun Pemilu <strong>Presiden</strong>. Nasib Megawati nyaris sama<br />
dengan Perdana Menteri Chuan Leekpai di Thailand yang<br />
dipuji kreditor namun ditolak oleh rakyat karena fokusnya<br />
hanya pada stabilitas finansial sementara banyak rakyat<br />
makin miskin dan menganggur.<br />
Peningkatan pengangguran tersebut terjadi karena