Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
- No tags were found...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
kan ke lembaga pembiayaan, karena konsumennya tak<br />
sanggup mencicil lagi. Keadaan ini sedikit tertolong oleh<br />
ekspor. Di masa krisis yang ganas di era Habibie, As tra<br />
Agro Lestari (AAL) lah yang menjadi tumpuan grup usaha<br />
ini, karena mampu mencetak dolar lewat produk CPO,<br />
cacao dan karet. Kontribusi pendapatan AAL tercatat<br />
memang terus meningkat, meski masih jauh dari cukup<br />
untuk dijadikan cash cow bagi kebutuhan grup.<br />
Sebab AAL sendiri belum berproduksi secara optimal.<br />
Dari sekitar 300 ribu hektare lahan kelapa sawitnya, baru<br />
sekitar 100 ribu ha yang bisa dipanen. Kelemahan lainnya<br />
adalah AAL belum memiliki industri hilirnya, baru di<br />
perkebunan dan pengilangan. Walhasil sumbangan agrobisnis<br />
As tra hanya bisa meminimalkan kerugian grup.<br />
Padahal As tra telah mati-matian melakukan efisiensi dan<br />
mengecilkan skala perusahaan dengan melepas beberapa<br />
anak perusahaan dan penyertaannya, antara lain di LG<br />
Electronics dan Digital As tra Nusantara, yang dilepas ke<br />
Compaq. Awal September 1998 PT As tra Microtonics<br />
Technology, pabrik pembuatan microchips dan semikonduktor<br />
yang berbasis di Batam, tercatat telah dijual<br />
seharga USS 90 juta kepada Newbridge Asia, perusahaan<br />
investasi internasional asal Amerika Serikat yang digandeng<br />
Edwin Suryadjaya, putra kedua om Willem.<br />
Bila grup usaha yang begitu kuat saja semacam<br />
Astra, Salim dan SM telah bergoyang seperti itu, bagaimana<br />
dengan Grup Gemala milik Sofyan? Meski sering<br />
meradang dan menggugat soal nasib konglomerat, Grup<br />
Gemala miliknya nampak stabil. Dia cuma mengaku terpukul<br />
di komponen suku cadang, karena pasarnya tergerus<br />
hebat sampai tinggal 15%. Sebagian besar produknya<br />
(80%) memang dilempar di pasar domestik kepada<br />
ATPM. Sedang bisnis propertinya, seperti Atrium Senen<br />
dan Pasadena ikut terpuruk. Cum a karena portofolionya<br />
relatif kecil di properti, dia tidak terlalu memberatkan.<br />
Bisnis jasanya ada yang menguntungkan (asuransi dan<br />
distribusi), tapi ada juga yang loyo, misalnya Nomura<br />
Securities yang karam dan Bank Dana Hutama yang sejak<br />
krismon tiap hari menyumbang kerugian. Divisi perkapalan<br />
Gemala, yang dulu memberi kontribusi bagus, ikut lesu<br />
karena turunnya ekspor ke AS dan Jepang. Dia tertolong<br />
karena kontrak jangka panjangnya dengan Jepang.<br />
Komponen otomotif yang dulu memberi kontri-busi 40%,<br />
selama krisis malah menjadi sumber kerugian. Yang masih<br />
kinclong produk aki. Produknya 90% diekspor, terutama<br />
ke Australia, Inggris, Asia dan Eropa. Sedang bisnis kimia<br />
dan manufakturnya terpaksa dilepas ke mitra asingnya<br />
guna menutup kerugian di bidang lain.<br />
Meski demikian Sofyan nampaknya tak terlampau risau.<br />
Yang lebih merisaukannya justru program pemerintah<br />
Habibie yang kalau tak hati-hati, ka ta dia, bisa memperburuk<br />
situasi, sehingga 80% konglomerat akan mati. Di<br />
sisi lain dia mengajak para konglomerat mawas diri dan<br />
mengubah orientasi agar tidak terus-menerus berkolaborasi<br />
dengan pemerintah. Bagi banyak kalangan pernyataan<br />
perang terhadap praktik KKN, monopoli dan persalngan<br />
tak adil merupakan peluang bagus bagi<br />
pengusaha profesional untuk tampil di gelanggang.<br />
Harapan besar tampaknya diletakkan di pundak Grup<br />
Bosowa (Aksa Mahmud) dan Grup Kalla (Jusuf Kalla),<br />
pemain lawas yang kuat di trading. Grup Texmaco<br />
(Marimutu Sinivasan) juga bisa dijadikan tumpuan di masa<br />
depan karena kekuatan mereka di industri manufaktur,<br />
permesinan, suku cadang dan tekstil. Dia bahkan berhasil