02.07.2013 Views

kelasXIIBahasa_Piawai_berbahasa_cakap_bersastra..

kelasXIIBahasa_Piawai_berbahasa_cakap_bersastra..

kelasXIIBahasa_Piawai_berbahasa_cakap_bersastra..

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

”Sudah kau periksa lagi drempelnya?”<br />

”Sudah, Pak. Semuanya baik.”<br />

Kami lalu keluar pergi ke bagian kolam yang akan dikuras. Air yang masuk sudah mulai<br />

menyusut dan orang-orang makin ribut. Lebih-lebih yang menghadang di saluran pembuangan<br />

yang telah mulai dibuka pintunya oleh Pak Kahir. Teriakan-teriakan terdengar di sana-sini<br />

terbaur dengan deru air terjun dari mulut saluran pembuangan. Dalam keremangan fajar itu<br />

tampak sangat indah jala-jala yang terbeber di udara untuk kemudian terjun ke air. Gemerlap<br />

gelang-gelang timahnya.<br />

Ketika isi kolam tinggal sedikit, orang-orang mulai terjun ke dalam kolam disertai sorak<br />

gembira. Tangkai-tangkai serok bercongklangan di antara kepala manusia. Pak Kahir sendiri,<br />

ketika aku berpaling, sudah tidak ada lagi di belakangku.<br />

Dalam saat seperti itu, orang sudah lupa lagi akan arti kemanusiaan. Semuanya ingin<br />

dapat menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Adalah dianggap biasa bila ada orang yang<br />

telah berhasil menangkap seekor ikan, orang di sebelahnya akan memukul tangan yang<br />

memegang ikan itu. Bahkan mereka tidak segan untuk mendorong orang itu tenggelam dalam<br />

lumpur agar ikan yang telah di tangannya itu terlepas kembali. Terasa nilai ikan jauh lebih<br />

tinggi daripada nilai manusia. Betapa tidak? Lumpur dalam kolam itu setebal satu meter. Dan<br />

orang yang didorong dan ambles dalam lumpur itu sudah takkan diingat lagi oleh manusiamanusia<br />

lainnya yang kemudian bergumul memperebutkan ikan yang terlepas tadi. Jika ia<br />

tidak tangkas cepat berdiri, mungkin saja ia diinjak-injak oleh manusia-manusia yang sudah<br />

tidak melihat apa-apa kecuali ikan itu. Lebih-lebih bila ikannya besar.<br />

Aku selalu cemas saja bila melihat anak-anak ikut turun ke kolam. Sebab perbandingan<br />

nilai ikan tersebut tidak hanya berlaku bagi manusia-manusia dewasa saja. Semuanya luluh<br />

dan saling bersaingan untuk menggagahi ikan-ikan.<br />

Ketika matahari sudah sepenggalah, mulailah lumpur dikeduk. Beberapa orang naik ke<br />

darat, menghitung-hitung dan membanding-bandingkan hasil tangkapannya dengan yang lain.<br />

Beberapa orang lagi belum puas dan masih mengkorek-korek lumpur mencari ikan tambahan.<br />

Tiba-tiba dari segerombolan pegawai pengeduk lumpur terdengar suara teriakan:<br />

”Anaaaak! Anaaak!”<br />

Orang-orang berlarian ke situ, dan seketika menjadi ribut. Aku berlari sepanjang tepian<br />

kolam. Dua orang berlumpur muncul dari gerombolan dengan menanting seorang bocah yang<br />

juga penuh dengan lumpur.<br />

”Cepat bersihkan! Mandikan!”<br />

”Bawa ke darat! Bawa ke darat!”<br />

Setelah anak itu dibersihkan, betapa aku terkejut: anak itu ternyata si Ujang! Jantungnya<br />

tak berdetak lagi! Mati! Lengannya sebelah kanan bengkak dan merah kaku. Salah seorang<br />

yang mukanya berlumpur terpaku beberapa lama, lalu rebah. Pingsan. Orang itu adalah Pak<br />

Kahir.<br />

Petang harinya mayat si Ujang dikebumikan. Banyak air mata yang tertumpah. Tetapi air<br />

mata Pak Kahir adalah lain, dengan tersendak-sendak ia menceritakan bagaimana di pagi<br />

buta ia telah memukul tangan seorang bocah dan mendorongnya jatuh ke dalam lumpur, ...<br />

Dari H.B. Yassin, Angkatan 66 Prosa dan Puisi.<br />

Nilai dalam Karya Sastra 217

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!