Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
ekonomi | renegosiasi tambang<br />
Renegosiasi kontrak karya<br />
di bidang pertambangan<br />
adalah tugas dan<br />
wewenang pemerintah.<br />
SEPUCUK surat dalam amplop berlogo<br />
lembaga yang sering menyeret<br />
pejabat tinggi ke penjara, Komisi<br />
Pemberantasan Korupsi, tiba di kantor<br />
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral<br />
pada Jumat, 21 Februari 2014. Bukan hanya<br />
Kementerian Energi yang mendapat surat<br />
tersebut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono<br />
juga menerima surat tersebut.<br />
Isi surat itu sederhana: pemerintah<br />
diminta segera menyelesaikan<br />
proses renegosiasi.<br />
Undang-undang menetapkan<br />
renegosiasi selesai pada 2010,<br />
tapi sampai sekarang belum<br />
juga selesai. Akibatnya, menurut<br />
kajian KPK, leletnya renegosiasi membuat<br />
selisih penerimaan negara dari Freeport, misalnya,<br />
bisa mencapai US$ 169 juta (Rp 1,9 triliun).<br />
“KPK menemukan pengelolaan penerimaan<br />
negara dari mineral dan batu bara yang tidak<br />
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun<br />
2009,” tutur juru bicara KPK, Johan Budi.<br />
Urusan dengan KPK biasanya persoalan korupsi.<br />
Meski sudah melakukan kajian dan menemukan<br />
potensi kerugian negara, KPK belum<br />
bertindak karena memang belum secara resmi<br />
mendapat laporan kerugian negara dari Badan<br />
Pemeriksa Keuangan. “BPK yang mengaudit,<br />
bukan KPK,” ujar Johan.<br />
Sedangkan BPK, menurut wakil ketuanya,<br />
Hasan Bisri, sudah mengaudit dua perusahaan<br />
tambang besar, Freeport dan Newmont. Ha san<br />
menolak menjelaskan perincian audit, hanya<br />
mengatakan pemerintah harus segera menyelesaikan<br />
renegosiasi kontrak karya dengan dua<br />
perusahaan tersebut, khususnya menyesuaikan<br />
nilai royalti. “Renegosiasi kontrak karya di<br />
bidang pertambangan adalah tugas dan wewenang<br />
pemerintah,” ujar Hasan.<br />
Tapi seorang ahli hukum menyatakan, meski<br />
ada kerugian negara akibat lambatnya renegosiasi,<br />
jika tidak ada yang sengaja mengambil<br />
keuntungan pribadi, tetap tidak masuk ranah<br />
korupsi. Pakar hukum tata negara Universitas<br />
Padjadjaran, Bandung, Indera Prawira, mengatakan<br />
temuan KPK memang menunjukkan<br />
adanya kerugian negara karena renegosiasi itu<br />
semestinya rampung pada 2010.<br />
Setelah tenggat itu terlampaui, tentu saja<br />
Majalah detik 17 - 23 maret 2014