jurnal - KPPU
jurnal - KPPU
jurnal - KPPU
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Verry Iskandar<br />
Sementara Ray August berpendapat bahwa “in some unusual situation, a<br />
company is used by it owners to perpetrate a fraud, to circumvent the law,<br />
or in some other way to carry out illegal activities. In such cases, a court will<br />
ignore the corporate structure of a company and pierce the company veil,<br />
exposing the shareholders to personal liability”. Lebih lanjut dikemukakan<br />
bahwa dalam konteks piercing the corporate veil, pengadilan dapat menerobos<br />
keterbatasan tanggung jawab pemegang saham dari perseroan, apabila<br />
dipenuhi empat persyaratan, yaitu the controlled company, the alter ego<br />
company, undercapitalization, and assumption of liability 27 .<br />
Kehadiran UU No. 5/ 1999 dapat dianggap sebagai penjabaran dari teori utilitas<br />
(Utilitarisme). Teori utilitarisme menyatakan bahwa suatu kebijaksanaan atau<br />
tindakan dinilai baik secara moral kalau hanya mendatangkan manfaat besar bagi<br />
orang sebanyak mungkin 28 . Teori tersebut dipelopori oleh Jeremy Bentham dan<br />
selanjutnya dikembangkan oleh John Stuart Mill. Betham dalam karya tulisannya<br />
yang berjudul “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation”,<br />
menjelaskan bahwa asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh<br />
mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu,<br />
atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu 29 .<br />
Dalam hal ini, utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan<br />
dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu perbuatan tergantung<br />
pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika suatu perbuatan<br />
mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran,<br />
kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik.<br />
Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat,<br />
perbuatan itu harus dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan tersebut memang<br />
menentukan seluruh kualitas moralnya. Perbuatan yang memang bermaksud baik<br />
tetapi tidak menghasilkan apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik 30 .<br />
Hadirnya UU No. 5/1999 bila dikaitkan dengan teori utilitarisme, maka dapat<br />
ditarik kesimpulan bahwa UU No. 5/1999 yang berfungsi sebagai code of<br />
conduct mengarahkan pelaku usaha untuk bersaing secara sehat. Diharapkan<br />
UU tersebut akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dengan<br />
memperhatikan keseimbangan antara pelaku usaha dan kepentingan umum 31 .<br />
27 Ray August, International Business Law Text Cases And Reading, (New Jersey: Prentice Hall, 3rd<br />
Edition, 1999), hal 45.<br />
28 A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal. 93 dan<br />
94. Utilitarisme berasal dari kata Latin utilities yang berarti “manfaat”.<br />
29 Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia yang bekerjasama dengan<br />
Kedutaaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dan Freedom Institute, 2006), hal. 13.<br />
30 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Seri Filasafat Atmajaya :21), (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 67.<br />
31 Lihat Pasal 2 dan 3 UU Nomor 5 Tahun 1999, Pasal 2 mengatur mengenai asas UU yang<br />
menyatakan bahwa: Pelaku Usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan<br />
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan<br />
kepentingan umum. Sedangkan Pasal 3 mengatur mengenai tujuan UU yang menyatakan bahwa<br />
salah satu tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk menjaga kepentingan umum dan<br />
meningkatkan efisiensi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.<br />
JURNAL PERSAINGAN USAHA • Edisi 5 - Tahun 2011<br />
11