02.07.2013 Views

jilid 1

jilid 1

jilid 1

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

kekurangan pendekatan tradisional, EM menggunakan pendekatan<br />

holistik dari seluruh pengalaman: indra (sense), perasaan/afeksi (feel),<br />

kognitif (think), fisik dan gaya hidup (act), serta hubungan dengan kultur<br />

atau referensi tertentu (relate) yang akhirnya mampu memberikan<br />

dimensi/imajinasi terhadap satu produk. Faktor-faktor ini disebutnya<br />

sebagai Strategic Experiential Modules (SEMs), yang merupakan<br />

fondasi EM.<br />

66<br />

Sebenarnya, gagasan Schmitt ini tidaklah benar-benar orisinil.<br />

Meski tidak segamblang Schmitt, Pine II dan Gilmore melalui artikelnya<br />

"Welcome to the Experience Economy" (Harvard Business Review,<br />

Juli-Agustus 1998) telah mengangkat gagasan ini. Rolf Jensen dalam<br />

bukunya The Dream Society (1998) juga sudah mengindikasikan<br />

bahwa kemajuan TI dan kecenderungan para pemasar mengemas<br />

emosi secara komersial telah mendorong transisi ke dream society,<br />

suatu bentuk masyarakat yang membentuk emotional market.<br />

Itulah pasar di mana konsumen tak sekadar membeli produk,<br />

melainkan juga berbagai unsur emosi dan afeksi, seperti gaya hidup,<br />

jati diri, petualangan, cinta dan persahabatan, kedamaian serta<br />

kepercayaan.<br />

Jasa Schmitt adalah merekatkan berbagai stimulus yang<br />

terserak itu menjadi pendekatan yang terpadu dan utuh untuk merayu<br />

calon konsumen, sekaligus mengikatnya menjadi pelanggan loyal yang<br />

diharapkan mampu terus-menerus mengulang pembelian. Dan yang<br />

lebih penting lagi, gagasan ini juga tak sulit diimplementasi, karena<br />

Schmitt merumuskan metode-metode dan langkah-langkahnya secara<br />

gamblang melalui aspek yang disebutnya experiences providers<br />

(ExPros), alat taktis untuk mengimplementasi EM.<br />

Berbicara mengenai EM tak bisa dilepaskan dari pendekatan<br />

emotional branding (EB), yakni upaya mengembangkan merek dengan<br />

menonjolkan benefit emosional ketimbang benefit fungsional (fitur) dan<br />

rasional (harga). Keduanya merupakan dua sisi keping mata uang yang

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!