Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Dalam laporan ini ada beberapa istilah status gizi yang digunakan, yaitu:<br />
Berat kurang : istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight)<br />
Pendek : istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek (stunting)<br />
Kurus : istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (wasting)<br />
2. Sifat-sifat indikator status gizi<br />
Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum.<br />
Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut<br />
karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang<br />
rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau<br />
penyakit infeksi lain (masalah gizi akut).<br />
Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya<br />
kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup<br />
tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang<br />
mengakibatkan anak menjadi pendek.<br />
Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya<br />
akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya:<br />
terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi<br />
kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah<br />
kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif pada<br />
saat dewasa (Teori Barker).<br />
Masalah gizi akut-kronis adalah masalah gizi yang memiliki sifat masalah gizi akut dan kronis.<br />
Sebagai contoh adalah anak yang kurus dan pendek.<br />
3. Status gizi balita menurut indikator BB/U<br />
Gambar 3.14.1 menyajikan prevalensi berat-kurang (underweight) menurut provinsi dan nasional.<br />
Secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun <strong>2013</strong> adalah 19,6 persen, terdiri dari 5,7<br />
persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi<br />
nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Perubahan terutama<br />
pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007, 4,9 persen pada tahun 2010, dan 5,7<br />
persen tahun <strong>2013</strong>. Sedangkan prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9 persen dari 2007 dan<br />
<strong>2013</strong> (Gambar 3.14.4). Untuk mencapai sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka<br />
prevalensi gizi buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 persen dalam periode<br />
<strong>2013</strong> sampai 2015. (Bappenas, 2012)<br />
Diantara 33 provinsi di Indonesia,18 provinsi memiliki prevalensi gizi buruk-kurang di atas angka<br />
prevalensi nasional yaitu berkisar antara 21,2 persen sampai dengan 33,1 persen. Urutan ke 19<br />
provinsi tersebut dari yang tertinggi sampai terendah adalah (1) Nusa Tenggara Timur; (2) Papua<br />
Barat; (3) Sulawesi Barat; (4) Maluku; (5) Kalimantan Selatan; (6) Kalimantan Barat; (7) Aceh; (8)<br />
Gorontalo; (9) Nusa Tenggara Barat; (10) Sulawesi Selatan; (11) Maluku Utara; (12) Sulawesi<br />
Tengah; (13) Sulawesi Tenggara; (14) Kalimantan Tengah; (15) Riau; (16) Sumatera Utara; (17)<br />
Papua, (18) Sumatera Barat dan (19) Jambi<br />
Atas dasar sasaran MDG 2015, terdapat tiga provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk-kurang<br />
sudah mencapai sasaran yaitu: (1) Bali, (2) DKI Jakarta, (3) Bangka Belitung. Masalah kesehatan<br />
masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20,0-29,0 persen, dan<br />
dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥30 persen (WHO, 2010). Pada tahun <strong>2013</strong>, secara<br />
nasional prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 19,6 persen, yang berarti<br />
211