Penulis ternama, Satyagraha Hoerip, dalam sebuah esai kritik sastranya pada 1972 mencatat bahwapengetahuan tentang pembunuhan massal itu disebarkan dari mulut ke mulut. Cerita-cerita terusberedar, tapi tidak pernah ditulis: ‘Tapi yang aneh disini ialah, bahwa dari yang pernah kita dengaritu, tidak satu berita atau foto pun pernah kita saksikan, baik itu dari koran-koran, majalah-majalahmaupun wartawan-wartawan yang umumnya cekatan itu di dalam maupun di luar negeri.’ Denganrangkaian kata yang jarang ditemui dalam tulisan di Indonesia, ia menggambarkan beberapa ceritayang disiarkan dari mulut ke mulut tersebut. ‘ <strong>Lalu</strong> seperti yang kita dengar, pembunuhan massalkemudian terjadilah di banyak tempat di Indonesia ini, selama beberapa pekan. Ada yang langsungdipancung, dihanyutkan ke kali baik utuh seluruh tubuhnya ataupun hanya bagian-bagian badannyasaja, ada yang dengan mata disekap berbondong-bondong digiring ke laut atau jurang dan kemudiandari atas dihujani batu-batu; ada yang lebih dulu disuruh menggali lubang dan kemudian dari jarakdekat ditembak masuk ke lubang itu sehingga tinggal menimbuninya saja; dan lain-lain dan banyaklagi.’ Hoerip merasa ia harus melawan mereka yang berpikir bahwa pembantaian itu mungkin takpernah terjadi karena, terlepas dari jumlahnya yang banyak, cerita-cerita itu tidak pernah diperiksaulang dan sering dilebih-lebihkan sampai orang tidak lagi mempercayainya; Bukankah kita tidaksangsi lagi bahwa pembunuhan massal sebenarnya pernah terjadi di negeri ini?’Tidak adanya dokumentasi tertulis, analisis sejarah, atau dialog publik di Indonesia mengenai teror1965-66 membuat banyak orang merasa bahwa seluruh masa itu sangat misterius dan tidak dapatdijelaskan. Orang bahkan tidak yakin apa arti penting dari ingatan mereka sendiri, misalnya,seseorang yang pernah menyaksikan pembunuhan massal di desanya mungkin tidak tahu apa yangterjadi di desa sebelah atau kabupaten lain. Ia tidak tahu pasti apakah pembunuhan yangdisaksikannya adalah bagi dari sebuah pola umum atau kebetulan saja. Cerita mengenai tempattempatlain, karena beredar dari mulut ke mulut, menjadi tidak dapat diandalkan. Orang tidak tahuapakah harus mempercayai cerita-cerita itu atau menganggapnya sebagai desas-desus saja.Tanggungjawab atas pembunuhan itu tetap kabur. Apakah semua itu dilakukan penduduk biasa yangmengamuk? Apakah Angkatan Darat? Apakah kelompok-kelompok milisi sipil seperti Banser danTameng? Ataukah kerja sama antar keduanya? [...][...] Selama 32 tahun kekuasaan rezim Soeharto, pembunuhan massal 1965-66 tidak pernah menjadibagian dari ingatan sosial, yakni ingatan mengenai masa lalu yang disampaikan kepada orang lain,diperingati dengan upacara, ditulis dalam buku, didokumentasikan dalam museum, atau ditandaidengan mendirikan monumen. Pengalaman akan pembunuhan itu umumnya tersimpan dalamingatan orang per orang atau dalam percakapan terbatas. ... buku-buku pelajaran sekolah tidakmembuat keterangan apapun, begitu pula dengan buku-buku sejarah yang diterbitkan pemerintahmengenai kejadian 1965-66. [...][...] Selama berkuasa, Soeharto membentuk ingatan sosial sedemikian rupa sehingga pembunuhanmassal terlupakan, tapi ingatan akan Gerakan 30 September terus hidup. Orang Indonesia sekarangjika ditanyai mengenai apa yang terjadi pada 1965-66 akan mengatakan bahwa peristiwapembunuhan tujuh perwira militer di Lubang Buaya adalah yang paling penting. [...][...] Ingatan sosial akan peristiwa 1965-66 dibentuk oleh propaganda negara dan pembungkamanpara korban. Ingatan ini menyerupai dongeng semasa kanak-kanak: monster terbesar danmengerikan bernama PKI mengancam keselamatan orang yang sederhana dan baik hati, akhirnya8
dikalahkan oleh pasukan ksatria mulia dan patriotik di bawah pimpinan Soeharto yang pemberani.Dongeng semacam ini mungkin masih diyakini anak-anak sekolah yang terus menerus dibawaberkunjung ke Lubang Buaya dan mendapatkan indoktrinasi melalui pelajaran sejarah di sekolah,tapi lain halnya bagi orang dewasa yang cukup rasional. Sejak lama ada keraguan mengenai versisejarah rezim Soeharto. Saat ini, sudah ada informasi yang diterbitkan pada pelaku kekerasan anti-PKI, yang memperlihatkan bahwa militer di bawah pimpinan Soeharto melakukan kejahatanterhadap kemanusiaan. Ketimbang terus berpegang pada versi resmi tersebut demi ‘persatuan dankesatuan’ kita perlu jujur melihat keragaman ingatan orang mengenai masa itu. Kita tidak bisa terusmenerus membiarkan suara korban dibungkam. Kita tidak bisa lagi berharap bahwa orang akanmenaati kisah rekayasa perwira intelijen militer sebagai sejarah nasional yang benar dan suci. [...][...] Kami kemudian bersama-sama memutuskan akan mewawancarai eks-tapol dan keluargamereka. Maksudnya, kami mengumpulkan cerita-cerita untuk menulis sebuah biografi kolektif dariorang-orang yang memiliki pengalaman serupa dalam perjalanan hidupnya (masa pra-1965,penangkapan, interogasi, penahanan, pembebasan, dan kehidupan di luar penjara). [...][...] Pembaca buku ini perlu menyadari bahwa 260 orang yang kami wawancari adalah orang-orangyang masih beruntung: mereka adalah korban yang selamat dari pembunuhan massal, tetapbertahan waras, dan punya rasa kemanusiaan setelah belasan tahun mendekam di penjara, atausetelah puluhan tahun mengalami diskriminasi sosial dan politik sebagai anggota keluarga tapol.Mereka tetap bisa bicara mengenai pengalaman mereka yang seringkali begitu pahit dan memilukan,dan dengan berani menyepakati untuk direkam wawancaranya. [...]2. Transkrip Rangkaian Diskusi Publik ELSAM: Amnesia Publik[...] Staf Gubernur Lampung-Korban Peristiwa ’65: Sebelum mengarah lebih jauh, saya pikirpersoalan tindak pelanggaran masa lampau harus didefinisikan secara tegas terlebih dahulu. Hal inisangat penting agar tidak terjebak pada perdebatan batasan dan istilah masa lampau itu sendiri.yang menjadi titik tekan saya adalah adanya istilah pelanggar yang artinya ada orang (pelaku) yangtelah melakukan tindak pelanggaran yang menyebabkan lahirnya korban. Sehingga, kita harusmembuat suatu kanalisasi siapa dulu musuh bersama kita yang membangkrutkan negara sampairasa jiwa dan kehidupan negara-negara bangsa Indonesia hancur lebur.Saya juga ingin menegaskan kalau semua orang Indonesia pelupa. Mengapa saya katakan demikian?Karena banyak tindak pelanggaran HAM yang terjadi sudah kita lupakan begitu saja. Ambil saja salahsatu contoh tragedi politik tahun 1965-1966 yang telah menelan satu setengah juta jiwa melayangsia-sia. Kalau hal itu dikali lima saja (mulai dari orang tua dan anaknya) berarti sudah berapa orangyang dianggap terlibat. Seperti genosida, kehidupan mereka khususnya akses mereka dalambermasyarakat dihancurleburkan. Begitu juga nasib warga keturunan Tionghoa, harus ganti namadan agamanya harus dihilangkan. [...][...] Saya kira semua orang setuju berdamai dengan masa lampau, tetapi harus terdapat kejelasanterlebih dahulu mengenai apa yang telah terjadi dan menimpa korban. Sehingga dalammemperbincangkan persoalan pelanggaran HAM masa lampau tampaknya harus berangkat dari9
- Page 2: Melawan Pelupaan PublikPanduan Disk
- Page 7: 3. Taylor: Perang Tersembunyi Sejar
- Page 10 and 11: iasa di kalangan publik umum untuk
- Page 12 and 13: Orde Baru yang sistematik dan melua
- Page 14 and 15: menghadapi pelupaan publik yang gej
- Page 18 and 19: korban itu sendiri. Kita harus mamp
- Page 20 and 21: hanya melayani kejahatan individu w
- Page 22 and 23: kepada mereka. Tuntutan awalnya ada
- Page 24 and 25: Namun usaha untuk menarik garis bar
- Page 26 and 27: Kebenaran atau Keadilan: Kebenaran
- Page 28 and 29: yang terutama dikerjakan oleh Memor
- Page 30 and 31: Bagian 2. Merancang Dokumentasi Kej
- Page 32 and 33: memberitakan cerita-cerita bohong t
- Page 34 and 35: memperoleh izin bergerak menurut In
- Page 36 and 37: PERTANYAAN-PERTANYAAN UNTUK DISKUSI
- Page 38: mengerahkan warga sipil ini tidak d
- Page 41 and 42: (kehidupan ekonomi, sosial, budaya,
- Page 43 and 44: Memorial-Rusia[...] Di bekas negara
- Page 45 and 46: PERTANYAAN-PERTANYAAN DISKUSI:1) Me
- Page 47 and 48: mengambil intisarinya dan mengintep
- Page 49 and 50: Jika demikian kita berangkat dari b
- Page 51 and 52: Pengertian Informasi Primer dan Inf
- Page 53 and 54: mendapatkan pengertian yang lebih b
- Page 55 and 56: Tabel 1: Perbedaan Dokumentasi deng
- Page 57 and 58: "Perantara yang berpengalaman semac
- Page 60 and 61: Dalam pendokumentasian tentu akan b
- Page 62 and 63: pekerjaan pustakawan dalam memilih,
- Page 64 and 65: tengkorak, enam puluh buah telah di
- Page 66 and 67:
II. Darimana Memulai: Mengajak Korb
- Page 68 and 69:
tujuan kami, dan apa yang akan kami
- Page 70 and 71:
• Menjaga kerahasiaan identitas k
- Page 72 and 73:
menghadapi kesulitan di lapangan, d
- Page 74 and 75:
• Tujuan kemanusiaan, misalnya me
- Page 76 and 77:
dari sumber pertama). Tuntutan ini
- Page 78 and 79:
miskin yang didirikan oleh organisa
- Page 80 and 81:
2. Riset Peristiwa 65 di SoloSejak
- Page 82:
lokal (bagian putri Pakorba Solo su
- Page 86 and 87:
menyiksa para jenderal, ditelanjang
- Page 88 and 89:
palu-arit,” perkosaan dalam tahan
- Page 90 and 91:
usak, dan membuat perabotan rumah t
- Page 92 and 93:
Ketika Santo Hariyadi diperintahkan
- Page 94 and 95:
capek, kepanasan, dan sebagainya, n
- Page 96 and 97:
kita [babat rumput]. Dari batas Des
- Page 98 and 99:
Setelah menyiang pada dari alang-al
- Page 100 and 101:
Kemudian ditutup. Kalau ditanyak pe
- Page 102 and 103:
Di tengah-tengah dokumentasi itu, i
- Page 104 and 105:
Pernyataan tentang Izin Penggunaan
- Page 106 and 107:
Profil ELSAMLembaga Studi dan Advok