11.07.2015 Views

Panduan Pendokumentasian Masa Lalu.pdf - Elsam

Panduan Pendokumentasian Masa Lalu.pdf - Elsam

Panduan Pendokumentasian Masa Lalu.pdf - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

memberangus pemikiran kiri atau karya-karya penulis kiri. Empat tahun kemudian Orde Barumengukuhkan penetapan itu menjadi UU dan memanfaatkannya semaksimal mungkin untukmembungkam apa yang mereka persepsi sebagai benih pemikiran subversive. Menurut Stanley A.Prasetyo, hanya dalam periode akhir 1965-1992, Orde Baru telah melarang sekitar 2000 lebih judulbuku.Lagi-lagi informasi itu pun masih tidak cukup. Saya rasa untuk keperluan advokasi saat itu perlu adariset lanjutan tentang bagaimana hukum itu diwariskan pada rezim-rezim era reformasi. Saya jugaperlu tahu motif sesungguhnya serta kepentingan siapa yang berada di balik pelarangan buku-bukupada era reformasi ini. Informasi-informasi ini yang dirahasiakan oleh kejaksaan agung. Untukmengungkapnya, saya pertama-tama melakukan riset dokumen (koran, risalah-risalah mahkamahkonstitusi, surat keputusan-surat keputusan pelarangan buku yang dikeluarkan kejaksaan agung,UUD, KUHP dan lain) ke sejumlah perpustakaan. Dengan rekomendasi Komnas HAM (KH), saya ikutmenyelenggarakan satu kali workshop tentang tema ini dan mendapat akses untuk mewawancaraikasubdit pengawasan barang cetakan dan media massa kejaksaan agung. Saya menemukan bahwadi awal reformasi, perjuangan untuk merebut kembali kebebasan untuk mengeluarkan pikiransecara tulisan – termasuk untuk mereformasi sistem hukumnya – lebih banyak dicurahkan padakebebasan pers. Kita terlupa bahwa Orde Baru telah memisahkan UU yang mengatur kontrol persdengan kontrol buku. Dan memang oplah koran lebih besar daripada buku. Membaca dan memilikibuku-buku Pramoedya A. Toer menjadi simbol kelas menengah terdidik. Hal itu ditambah lagidengan beredar bebasnya buku-buku terlarang masa Orde Baru. Bahkan sejumlah korban 65 yangselama puluhan tahun dibisukan pun secara bebas mengeluarkan memoir mereka. Lolos dariperhatian kita, kejaksaan agung mengukuhkan institusi sensornya, Clearing House dan sejak 2006perlahan mulai melancarkan sensor tanpa mempedulikan protes masyarakat pembaca.Suatu hari, bersama seorang rekan dari KH, saya mewawancarai kepala sub direktorat pengawasanbarang cetakan dan media massa kejaksaan agung. Ia mengatakan bahwa AD merasa difitnah olehJohn Roosa, sementara kesalahan Socratez Sofyan Yoman adalah memprovokasi rakyat Papua untukmelakukan kekerasan. Narasumber saya menyadari bahwa ada persoalan ketidakadilan ekonomi diPapua, akan tetapi pemerintah sudah menyediakan saluran resmi untuk menampung ketidakpuasanmasyarakat, yaitu DPRD. Akan tetapi, yang paling penting dari wawancara itu adalah saya tahudengan pasti institusi-institusi apa yang ada di dalam Clearing House serta perubahan struktur danmekanismenya dari masa ke masa. Saya juga tahu institusi-institusi mana yang palingberkepentingan terhadap pelarangan buku-buku di atas. Dengan demikian, saat menyusun laporan,saya bisa memaparkan bahwa makna sesungguhnya dari alasan yang diajukan kejaksaan agung‘mengganggu ketertiban umum’ bukanlah kepentingan umum, tapi wibawa – citra dan dominasi –militer, khususnya AD, dan pemerintah. Berdasarkan laporan tersebut serta terbitan-terbitan lain,saya dan teman-teman pengacara kemudian memperkuat naskah gugatan di Mahkamah Konstitusi.Laporan sepanjang puluhan halaman tersebut kemudian kami tuangkan lagi dalam bentuk narasinarasitematik yang lebih ringkas dan kami serahkan pada teman-teman seniman muda. Merekayang mentransformasinya menjadi bahan kampanye yang kemudian kami tampilkan di sejumlahkota.71

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!