Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM - Smecda
Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM - Smecda
Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM - Smecda
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
KOPERASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA: TINJAUAN<br />
PROBABILITAS TINGKAT ANGGOTA KOPERASI DAN TINGKAT KEMISKINAN PROPINSI<br />
(Johnny W. Situmorang <strong>dan</strong> Saudin Sijabat)<br />
mampu melakukan transformasi struktural perkoperasian menuju lembaga<br />
yang tangguh.<br />
Relasi yang rendah tersebut juga didukung oleh keberadaan koperasi yang<br />
ambivalen. Pada satu sisi koperasi dinyatakan sebagai lembaga meningkatkan<br />
kesejahteraan rakyat yang semestinya menjadi wilayah pemerintahan. Pada<br />
sisi lain koperasi dinyatakan ba<strong>dan</strong> usaha yang berwatak sosial. Sebagai ba<strong>dan</strong><br />
usaha yang berba<strong>dan</strong> hukum, koperasi adalah sebagai perusahaan sebagaimana<br />
layaknya dunia usaha, seperti perseroan terbatas. Ketika koperasi sebagai<br />
lembaga mengatasi kemiskinan maka koperasi selayaknya adalah instrumen<br />
pemerintah dalam menjalankan program pembangunan. Keberadaan koperasi<br />
merupakan rekayasa pemerintah dengan melibatkan masyarakat miskin,<br />
mengingat rakyat miskin sangat tidak mungkin mampu mengorganisasikan<br />
diri sendiri dalam organisasi formal. Manakala koperasi sebagai ba<strong>dan</strong> hukum<br />
maka keberadaaannya murni atas pembentukan anggota yang mempunyai<br />
kepentingan yang sama untuk mencapai tujuan bisnis. <strong>Koperasi</strong> seperti ini<br />
lepas dari persoalan kemiskinan karena anggotanya pasti adalah kelompok<br />
masyarakat bukan miskin.<br />
VI. PENUTUP<br />
Sejalan dengan kerangka pembangunan nasional, koperasi diharapkan<br />
mampu menjadi instrumen meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kaitan antara<br />
jumlah anggota koperasi dengan upaya penanggulangan kemiskinan di<br />
Indonesia masih rendah. Dengan kata lain jumlah koperasi <strong>dan</strong> anggota koperasi<br />
yang banyak belum memiliki relasi yang kuat dalam hal penanggulangan<br />
kemiskinan. Kualitas anggota dalam kerangka peningkatan kesejahteraan<br />
masih belum terungkap secara jelas. Hal itu terlihat, misalnya penyuluhan<br />
perkoperasian yang sebenarnya faktor penting menggalang keanggotaan<br />
koperasi, tidak berjalan <strong>dan</strong> tidak ada dalam struktur pemerintahan. Keberadaan<br />
Dekopin belum mampu menjadi wadah pembawa aspirasi anggota <strong>dan</strong><br />
lembaga koperasi. Barangkali, jumlah koperasi <strong>dan</strong> anggota koperasi yang<br />
terus meningkat lebih pada pencatatan dalam rangka memenuhi elemen utama<br />
pembentukan koperasi. Oleh karena itu, perlu meninjau kembali apakah<br />
keberadaan koperasi <strong>dan</strong> anggota koperasi benar-benar mencerminkan upaya<br />
kerjasama untuk memenuhi kepentingan <strong>dan</strong> mengatasi masalah bersama<br />
dalam bisnis <strong>dan</strong> ekonomi. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah<br />
pembedaan koperasi yang jelas apakah sebagai instrumen pemerintah dalam<br />
rangka penanggulangan kemiskinan atau ba<strong>dan</strong> usaha berba<strong>dan</strong> hukum yang<br />
sepa<strong>dan</strong> dengan perseroan terbatas. Disamping itu, tampaknya, keterlibatan<br />
semua pemangku kepentingan, khususnya keberadaan Dekopin, perlu ditinjau<br />
kembali agar sesuai dengan UU perkoperasian.<br />
65