You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
tekanan pada MK. Pendapat Bapak?<br />
Ini adalah persoalan internal MK. Saya tidak mau ikut campur. Saya<br />
ingin katakan bahwa inilah sebuah fakta yang terjadi di sebuah lembaga<br />
yang kita hormati. Saya tidak bisa pastikan apakah keputusan MK itu<br />
memang sudah diketok pada Maret 2013. Biarlah sesama mereka<br />
yang menyelesaikan. Hal itu adalah persoalan teknis. Bagi saya,<br />
persoalan teknis sebuah lembaga kita serahkan pada lembaga itu.<br />
Kalau memang sudah diputuskan pada Maret 2013, apakah ada<br />
kesengajaan sehingga baru dibacakan pada Januari <strong>2014</strong>, tentu<br />
ada hal-hal yang sangat prinsipil. Saya ingat UUD kita menyebut<br />
hakim-hakim MK adalah negarawan. Jadi, levelnya lebih tinggi<br />
dibanding profesi lain. Tentu MK telah mempertimbangkan secara<br />
matang dan membacakan keputusan itu. Sebenarnya, secara<br />
substansial semua lega dengan putusan MK. Kalau sepanjang sudah<br />
setuju secara substansial, mengapa kita harus meributkan hal-hal<br />
yang tidak substansial?<br />
Ada yang mengatakan, setelah putusan MK, Pemilu <strong>2014</strong><br />
menjadi inkonstitusional. Bagaimana pandangan Bapak?<br />
Tergantung dari cara pandang kita. Cara pandang kita melihat<br />
persoalan ini bisa bermacam-macam. Kalau saya memandang,<br />
menjadi kewajiban kita bersama melakukan penyelamatan kehidupan<br />
berbangsa dan bernegara. Upaya penyelematan ini diakui oleh UUD<br />
dan berada di atas segala-galanya.<br />
Kalau ada hal teknis dan tidak sesuai, misalnya ada pasal dalam<br />
UU Pilpres yang dibatalkan maka Pemilu <strong>2014</strong> menjadi tidak<br />
konstitusional, itu hanyalah alasan bagi mereka yang mengerti hukum<br />
secara teknis dan yuridis. Tetapi bagi bangsa ini, kita melihat tidak<br />
ada pergolakan yang timbul di masyarakat. Semua menerima putusan<br />
MK itu. Jadi mari kita melihat pada kepentingan yang lebih besar.<br />
Saya juga ingin katakan bahwa MK pernah melakukan hal-hal<br />
yang agak mirip. Misalnya, dalam memutuskan Pemilukada di Aceh.<br />
Dalam masalah Pemilukada Aceh, MK bersidang dan membuat<br />
keputusan lebih dari tiga kali yang sebenarnya secara substansi<br />
keputusannya masih tetap sama. Saya sempat bertanya pada orangorang<br />
MK, mereka menjawab: “Sesuai dengan sumpah, kewajiban<br />
kami adalah menyelamatkan bangsa dan mempertahankan NKRI”.<br />
Saya ingin mengimbau semua orang untuk tidak berpikir pada halhal<br />
yang tidak prinsipil. Sudahlah, biarkan KPU melaksanakan Pemilu<br />
<strong>2014</strong> sesuai dengan aturan yang ada. Untuk Pemilu 2019, kita<br />
bicarakan kemudian. Tapi, prospek pemilu serentak pada 2019 sudah<br />
jelas.<br />
Apa sebenarnya keuntungan penyelenggaraan Pemilu<br />
serentak?<br />
Keuntungan pelaksanaan pemilu serentak yang paling penting<br />
adalah berkurangnya tensi politik di tengah masyarakat. Dengan<br />
pemilu serentak, tensi politik hanya satu kali saja. Ini berbeda dengan<br />
pemilu tidak serentak. Sekarang saja, isu-isu di media televisi, online,<br />
sampai media cetak, sepanjang tahun hanya isu politik. Kita<br />
kehilangan isu pembangunan. Ini tidak baik bagi bangsa kita ke depan.<br />
Kalau pemilu dilakukan serentak, tensi politik mungkin hanya dua<br />
atau tiga bulan. Setelah itu kita konsentrasi pada pembangunan.<br />
Keuntungan seperti itu mungkin kurang diperhitungkan banyak<br />
orang. Yang sering dilihat adalah pemilu serentak menghemat biaya.<br />
Memang kita sudah pernah menghitung, dengan pemilu yang terpisah,<br />
kita membutuhkan sedikitnya Rp 25 triliun. Biaya ini untuk semua<br />
pemilu, baik pemilu legislatif, pemilu presiden, pemilukada provinsi,<br />
kabupaten, dan kota. Belum lagi dalam pemilukada, setiap calon<br />
mengeluarkan biaya yang cukup besar.<br />
Apabila pemilu dilakukan serentak, kita menghitung mungkin hanya<br />
membutuhkan biaya Rp 8 hingga Rp 10 triliun. Ada penghematan Rp<br />
15 triliun. Saya mengusulkan, untuk membenahi politik nasional ke<br />
depan, dari Rp 15 triliun itu, setengahnya atau Rp 7,5 triliun, diberikan<br />
kepada partai politik disertai dengan aturan yang ketat dan audit<br />
reguler oleh BPK, baik nasional maupun provinsi. Dana itu untuk<br />
mendukung fungsi partai politik dalam rekrutmen kepemimpinan<br />
nasional. Selama ini, partai politik tidak dibenarkan mencari dana,<br />
namun partai politik diandalkan menjadi tempat bagi penyedia<br />
kandidat-kandidat kepala pemerintahan. Saya menganggap ada<br />
a<strong>no</strong>mali dalam cara berpikir seperti itu.<br />
Jadi, keuntungan pemilu serentak adalah: Pertama, ketegangan<br />
politik akan berkurang; kedua, hemat dari sisi biaya; ketiga, memang<br />
ada yang berpendapat, dengan pemilu serentak maka sistem<br />
presidensial akan lebih kuat. Bisa jadi, dengan pemilu serentak<br />
presiden sama sekali tidak bergantung pada kekuatan di parlemen.<br />
Artinya, bisa jadi presiden terpilih dari partai mi<strong>no</strong>ritas di parlemen.<br />
Bukan tergantung pada mayoritas atau mi<strong>no</strong>ritas dalam parlemen<br />
melainkan pada moralitas dan etika para politisi. Para politisi jangan<br />
menyerang presiden secara personal, tetapi kebijakannya. Pemilu<br />
serentak menghasilkan hal yang positif, yaitu penguatan sistem<br />
presidensial.<br />
Apakah juga ada kelemahan atau kerugiannya?<br />
Sejauh ini, karena kita belum pernah melakukan pemilu serentak,<br />
kita belum bisa mengidentifikasi kelemahan dan kerugiannya.<br />
Mungkinkah putusan MK itu digugat kembali? (Karena<br />
ada pihak yang mengajukan PK (peninjauan kembali) atas<br />
putusan MK itu)?<br />
Keputusan MK final dan mengikat. Jadi, PK ke MK tidak ada<br />
ruangnya. ❏<br />
EDISI NO.02/TH.VIII/FEBRUARI <strong>2014</strong><br />
25