06.11.2014 Views

no-02th-viiifebruari-2014

no-02th-viiifebruari-2014

no-02th-viiifebruari-2014

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

NASIONAL<br />

FGD MPR-Dewan Ketahanan Nasional<br />

Mungkinkah MPR Kembali Seperti Dulu?<br />

MPR RI yang ada saat sekarang dianggap tidak sesuai dengan ruh dan citarasa yang diharapkan<br />

para pendiri bangsa. Penyebabnya, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara.<br />

PASCA amandemen UUD Tahun 1945<br />

terdapat banyak wacana menyangkut<br />

sistem ketatanegaraan. Antara lain,<br />

lahirnya tiga kelompok yang melayangkan<br />

keinginan mereka. Kelompok pertama,<br />

mengiginkan eksistensi UUD NRI Tahun 1945<br />

seperti yang ada saat ini. Kedua, kelompok<br />

yang menginginkan adanya perubahan UUD<br />

NRI Tahun 1945. Dan, ketiga, kelompok yang<br />

menginginkan agar kembali kepada naskah<br />

asli UUD Tahun 1945.<br />

Wacana yang lain adalah menyangkut<br />

penguatan posisi MPR. Wacana ini<br />

berkembang dengan alasan bahwa ketiadaan<br />

lembaga tertinggi negara, seperti dulu<br />

dipegang oleh MPR, dianggap sangat<br />

berbahaya. Sewaktu-waktu, jika terjadi<br />

kondisi darurat maka negara Indonesia bisa<br />

bubar dengan cepat. Dan, kondisi seperti ini<br />

tidak boleh terjadi.<br />

Pernyataan itu disampaikan Prof. Dr.<br />

Rusadi Kantaprawira pada acara Focus<br />

Group Discussion (FGD) kerjasama MPR RI<br />

dengan Dewan Ketahanan Nasional pada<br />

Selasa (10/12). Acara tersebut berlangsung<br />

di Ruang GBHN Gedung Nusantara V<br />

Kompleks MPR/DPR/DPD Senayan, Jakarta,<br />

membahas tema: Penguatan lembaga negara<br />

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.<br />

Selain Rusadi, juga tampil sebagai<br />

narasumber Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf.<br />

Menurut Rusadi, pengembalian tugas dan<br />

wewenang yang dulu dimiliki MPR akan lebih<br />

memantabkan eksisitensi MPR. Sehingga<br />

MPR tidak perlu mencari-cari tugas, seperti<br />

yang terjadi saat ini.<br />

“Dampak negatif lain yang terjadi pasca<br />

reformasi adalah munculnya superioritas<br />

Bank Indonesia dan KPK (Komisi<br />

Pemberantasan Korupsi). Lebih-lebih di<br />

dalam konstitusi memang tidak ada sistem<br />

koordinasi dan pertanggungjawaban dari<br />

kedua lembaga tersebut”, ujar Rusadi.<br />

Selanjutnya mengenai hubungan DPR dan<br />

Presiden yang menurut Rusadi harus ditata<br />

ulang. “DPR tidak selayaknya memanggil para<br />

menteri secara terus menerus. Karena yang<br />

menjadi atasan menteri adalah Presiden,<br />

bukan DPR,” kata Rusadi memberi alasan.<br />

Hal lainnya, kata Rusadi, penyederhanaan<br />

partai harus dilakukan sesegera mungkin.<br />

“Jumlah partai terlalu banyak akan<br />

menghadapi satu persoalan dalam upaya<br />

memperbaiki kehidupan berbangsa dan<br />

bernegara,” katanya.<br />

Seperti hanya Rusadi, Profesor Asep<br />

Warlan Yusuf juga setuju perlunya<br />

penguatan MPR RI. Apalagi saat ini tidak ada<br />

satupun lembaga negara yang mampu<br />

memberikan landasan, arah, dan pedoman<br />

dalam penyelenggaraan demokrasi. Hanya<br />

saja Asep mengaku heran melihat kenyataan<br />

bahwa semua lembaga negara juga<br />

menuntut penguatan.<br />

Menurut Asep, MPR-lah saat ini yang perlu<br />

pembenahan dan penguatan. Karena<br />

lembaga ini paling merepresentasikan<br />

keragaman rakyat Indonesia. Sekaligus<br />

cerminan kebhinekaan Indonesia. MPR juga<br />

menjadi wahana bagi seluruh komponen<br />

bangsa untuk bermusyawarah dan<br />

bermufakat, dalam penyelenggaraan negara<br />

dengan berbagai aspeknya.<br />

“Seharusnya MPR menjadi lembaga yang<br />

menetapkan UUD dan aturan dasar negara<br />

yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga<br />

negara yang lain,” kata Asep seraya<br />

mengaku heran dengan kenyataan yang<br />

terjadi pada MPR saat ini. Karena ruh dan<br />

tugas yang diemban MPR telah berubah,<br />

sehingga semestinya namanya pun tidak lagi<br />

memakai MPR RI.<br />

Tim Kajian Ketatanegaraan<br />

Sebelumnya, Wakil Ketua MPR RI Lukman<br />

Hakim Saifuddin saat memberikan sambutan<br />

pada pembukaan acara tersebut<br />

mengatakan, Indonesia adalah negara yang<br />

sangat besar. Di dalamnya terdapat berbagai<br />

keragaman. Mulai dari keragaman suku,<br />

agama, ras, bahasa hingga adat kebiasaan<br />

dan kebudayaan. Karena itu harus ada<br />

lembaga yang menjalankan kerja-kerja<br />

sosialisasi, seperti yang selama ini dilakukan<br />

MPR. Ini penting dilakukan agar keberagaman<br />

di Indonesia tidak berubah menjadi<br />

perpecahan.<br />

Keberagaman yang ada di Indonesia, kata<br />

Lukman, harus dikelola dengan baik. Bukan<br />

malah ditelantarkan atau dihomogenkan.<br />

Karena, bagi Indonesia keberagaman<br />

merupakan sesuatu yang jamak, dan ada<br />

sebelum Indonesia merdeka. Karena itu<br />

keragaman harus dipertahankan, dikelola<br />

agar utuh selamanya.<br />

“Keragaman kita adalah kekayaan Indonesia.<br />

Karena itu, keragaman kita perlu<br />

dipupuk agar lestari, bukan menjadikan Indonesia<br />

seperti Uni Soviet yang terpecah<br />

menjadi berbagai negara”, kata Lukman.<br />

Pada kesempatan itu, Lukman juga<br />

mengatakan, sejak melaksanakan kegiatan<br />

sosialisasi, MPR banyak mendapatkan<br />

masukan menyangkut sistem<br />

ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya<br />

adalah permintaan agar MPR dikembalikan<br />

seperti sediakala. Yaitu, MPR yang dapat<br />

menetapkan GBHN (Garis-garis Besar<br />

Haluan Negara), menafsirkan UUD Tahun<br />

1945, serta mengangkat dan<br />

memberhentikan Presiden.<br />

Untuk menjaring berbagai masukan dari<br />

masyarakat, menurut Lukman, maka<br />

dibentuklah alat kelengkapan MPR berupa<br />

Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan.<br />

Tim ini bertugas menampung dan menyaring<br />

berbagai masukan terkait sistem<br />

ketatanegaraan. Dan, pada saatnya bisa<br />

digunakan sebagaimana mestinya. ❏<br />

MBO<br />

36 EDISI NO.02/TH.VIII/FEBRUARI <strong>2014</strong>

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!