Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
NASIONAL<br />
FGD MPR-Dewan Ketahanan Nasional<br />
Mungkinkah MPR Kembali Seperti Dulu?<br />
MPR RI yang ada saat sekarang dianggap tidak sesuai dengan ruh dan citarasa yang diharapkan<br />
para pendiri bangsa. Penyebabnya, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara.<br />
PASCA amandemen UUD Tahun 1945<br />
terdapat banyak wacana menyangkut<br />
sistem ketatanegaraan. Antara lain,<br />
lahirnya tiga kelompok yang melayangkan<br />
keinginan mereka. Kelompok pertama,<br />
mengiginkan eksistensi UUD NRI Tahun 1945<br />
seperti yang ada saat ini. Kedua, kelompok<br />
yang menginginkan adanya perubahan UUD<br />
NRI Tahun 1945. Dan, ketiga, kelompok yang<br />
menginginkan agar kembali kepada naskah<br />
asli UUD Tahun 1945.<br />
Wacana yang lain adalah menyangkut<br />
penguatan posisi MPR. Wacana ini<br />
berkembang dengan alasan bahwa ketiadaan<br />
lembaga tertinggi negara, seperti dulu<br />
dipegang oleh MPR, dianggap sangat<br />
berbahaya. Sewaktu-waktu, jika terjadi<br />
kondisi darurat maka negara Indonesia bisa<br />
bubar dengan cepat. Dan, kondisi seperti ini<br />
tidak boleh terjadi.<br />
Pernyataan itu disampaikan Prof. Dr.<br />
Rusadi Kantaprawira pada acara Focus<br />
Group Discussion (FGD) kerjasama MPR RI<br />
dengan Dewan Ketahanan Nasional pada<br />
Selasa (10/12). Acara tersebut berlangsung<br />
di Ruang GBHN Gedung Nusantara V<br />
Kompleks MPR/DPR/DPD Senayan, Jakarta,<br />
membahas tema: Penguatan lembaga negara<br />
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.<br />
Selain Rusadi, juga tampil sebagai<br />
narasumber Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf.<br />
Menurut Rusadi, pengembalian tugas dan<br />
wewenang yang dulu dimiliki MPR akan lebih<br />
memantabkan eksisitensi MPR. Sehingga<br />
MPR tidak perlu mencari-cari tugas, seperti<br />
yang terjadi saat ini.<br />
“Dampak negatif lain yang terjadi pasca<br />
reformasi adalah munculnya superioritas<br />
Bank Indonesia dan KPK (Komisi<br />
Pemberantasan Korupsi). Lebih-lebih di<br />
dalam konstitusi memang tidak ada sistem<br />
koordinasi dan pertanggungjawaban dari<br />
kedua lembaga tersebut”, ujar Rusadi.<br />
Selanjutnya mengenai hubungan DPR dan<br />
Presiden yang menurut Rusadi harus ditata<br />
ulang. “DPR tidak selayaknya memanggil para<br />
menteri secara terus menerus. Karena yang<br />
menjadi atasan menteri adalah Presiden,<br />
bukan DPR,” kata Rusadi memberi alasan.<br />
Hal lainnya, kata Rusadi, penyederhanaan<br />
partai harus dilakukan sesegera mungkin.<br />
“Jumlah partai terlalu banyak akan<br />
menghadapi satu persoalan dalam upaya<br />
memperbaiki kehidupan berbangsa dan<br />
bernegara,” katanya.<br />
Seperti hanya Rusadi, Profesor Asep<br />
Warlan Yusuf juga setuju perlunya<br />
penguatan MPR RI. Apalagi saat ini tidak ada<br />
satupun lembaga negara yang mampu<br />
memberikan landasan, arah, dan pedoman<br />
dalam penyelenggaraan demokrasi. Hanya<br />
saja Asep mengaku heran melihat kenyataan<br />
bahwa semua lembaga negara juga<br />
menuntut penguatan.<br />
Menurut Asep, MPR-lah saat ini yang perlu<br />
pembenahan dan penguatan. Karena<br />
lembaga ini paling merepresentasikan<br />
keragaman rakyat Indonesia. Sekaligus<br />
cerminan kebhinekaan Indonesia. MPR juga<br />
menjadi wahana bagi seluruh komponen<br />
bangsa untuk bermusyawarah dan<br />
bermufakat, dalam penyelenggaraan negara<br />
dengan berbagai aspeknya.<br />
“Seharusnya MPR menjadi lembaga yang<br />
menetapkan UUD dan aturan dasar negara<br />
yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga<br />
negara yang lain,” kata Asep seraya<br />
mengaku heran dengan kenyataan yang<br />
terjadi pada MPR saat ini. Karena ruh dan<br />
tugas yang diemban MPR telah berubah,<br />
sehingga semestinya namanya pun tidak lagi<br />
memakai MPR RI.<br />
Tim Kajian Ketatanegaraan<br />
Sebelumnya, Wakil Ketua MPR RI Lukman<br />
Hakim Saifuddin saat memberikan sambutan<br />
pada pembukaan acara tersebut<br />
mengatakan, Indonesia adalah negara yang<br />
sangat besar. Di dalamnya terdapat berbagai<br />
keragaman. Mulai dari keragaman suku,<br />
agama, ras, bahasa hingga adat kebiasaan<br />
dan kebudayaan. Karena itu harus ada<br />
lembaga yang menjalankan kerja-kerja<br />
sosialisasi, seperti yang selama ini dilakukan<br />
MPR. Ini penting dilakukan agar keberagaman<br />
di Indonesia tidak berubah menjadi<br />
perpecahan.<br />
Keberagaman yang ada di Indonesia, kata<br />
Lukman, harus dikelola dengan baik. Bukan<br />
malah ditelantarkan atau dihomogenkan.<br />
Karena, bagi Indonesia keberagaman<br />
merupakan sesuatu yang jamak, dan ada<br />
sebelum Indonesia merdeka. Karena itu<br />
keragaman harus dipertahankan, dikelola<br />
agar utuh selamanya.<br />
“Keragaman kita adalah kekayaan Indonesia.<br />
Karena itu, keragaman kita perlu<br />
dipupuk agar lestari, bukan menjadikan Indonesia<br />
seperti Uni Soviet yang terpecah<br />
menjadi berbagai negara”, kata Lukman.<br />
Pada kesempatan itu, Lukman juga<br />
mengatakan, sejak melaksanakan kegiatan<br />
sosialisasi, MPR banyak mendapatkan<br />
masukan menyangkut sistem<br />
ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya<br />
adalah permintaan agar MPR dikembalikan<br />
seperti sediakala. Yaitu, MPR yang dapat<br />
menetapkan GBHN (Garis-garis Besar<br />
Haluan Negara), menafsirkan UUD Tahun<br />
1945, serta mengangkat dan<br />
memberhentikan Presiden.<br />
Untuk menjaring berbagai masukan dari<br />
masyarakat, menurut Lukman, maka<br />
dibentuklah alat kelengkapan MPR berupa<br />
Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan.<br />
Tim ini bertugas menampung dan menyaring<br />
berbagai masukan terkait sistem<br />
ketatanegaraan. Dan, pada saatnya bisa<br />
digunakan sebagaimana mestinya. ❏<br />
MBO<br />
36 EDISI NO.02/TH.VIII/FEBRUARI <strong>2014</strong>