You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Bung Kar<strong>no</strong> melakukan pengawasan teknis pembangunan masjid<br />
“kebebasan” atau “kemerdekaan”, dalam<br />
pemikiran Bung Kar<strong>no</strong>, sangat tepat bila<br />
didirikan di atas taman Wilhelmina. Pasalnya,<br />
Ratu Belanda Wilhelmina sebagai<br />
representasi penjajahan di bumi Indonesia,<br />
bagi Bung Kar<strong>no</strong>, harus dihancurkan,<br />
dimusnahkan, dan diganti masjid yang<br />
bernama “kebebasan”. Istiqlal. Akhirnya,<br />
dengan pemaknaan seperti itu, semua orang<br />
setuju dengan sikap dan pilihan Bung Kar<strong>no</strong>.<br />
Bung Kar<strong>no</strong> juga melandaskan pada<br />
filosofi lain ketika menetapkan lokasi untuk<br />
pembangunan masjid Istiqlal. Lokasi masjid<br />
terletak yang di seberang Lapangan<br />
Banteng itu dipilih karena berdekatan dengan<br />
Gereja Kathedral. “Istiqlal di satu sisi.<br />
Kathedral di sisi lain, berdiri kokoh dan megah<br />
dengan harmonis adalah lambang<br />
harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia.”<br />
Kira-kira seperti itu Bung Kar<strong>no</strong><br />
memaknai lokasi masjid Istiqlal.<br />
Gagasan untuk mendirikan masjid terbesar<br />
di Ibukota Republik Indonesia itu sebenarnya<br />
sudah muncul pada 1953. Setahun<br />
kemudian, 1954, didirikanlah Yayasan Masjid<br />
Istiqlal. Ketua yayasan ini adalah<br />
Tjokroami<strong>no</strong>to. Lalu pada 1955<br />
diselenggarakan sayembara rancang<br />
bangun atau arsitektur masjid. Hadiah utama<br />
sayembara ini adalah uang tunai sebesar<br />
Rp 75.000 dan emas murni 75 gram.<br />
Sayembara rancang bangun dan arsitektur<br />
masjid ini diikuti 27 peserta.<br />
Ketua Dewan Juri sayembara ini adalah<br />
Presiden Soekar<strong>no</strong>. Anggota dewan juri di<br />
antaranya Prof. Ir. Roose<strong>no</strong>, Ir. H. Djuanda,<br />
Prof. Ir. Suwardi, Hamka, H. Abubakar Aceh,<br />
dan Oemar Husein Amin. Frederich Silaban,<br />
seorang arsitek Kristen kelahiran Bonandolok,<br />
Sumatera Utara, keluar sebagai pemenang<br />
sayembara arsitektur masjid Istiqlal.<br />
Pengerjaan masjid berlantai lima yang<br />
melambangkan kewajiban shalat lima waktu<br />
dalam satu hari akhirnya dimulai. Setelah<br />
melalui pendalaman desain serta persiapan<br />
matang, pada 24 Agustus 1961, bertepatan<br />
dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad<br />
SAW, Presiden Ir. Soekar<strong>no</strong> sebagai Kepala<br />
Bidang Teknik, berkenan melakukan upacara<br />
pemancangan tiang pertama pembangunan<br />
masjid Istiqlal.<br />
Sebagai Kepala Bidang Teknik, Bung<br />
Kar<strong>no</strong> sendiri yang melakukan pengawasan<br />
teknis pembangunan masjid sejak fase<br />
pembangunan pondasi. Kepada sejumlah<br />
orang dekatnya, bukan sekali dua kali Bung<br />
Kar<strong>no</strong> menyampaikan ambisinya untuk<br />
membangun masjid yang megah dan kokoh.<br />
“Jika Candi Borobodur yang dibangun<br />
leluhur kita untuk mengagungkan Budha bisa<br />
bertahan ratusan tahun maka saya ingin<br />
masjid Istiqlal tidak hanya tahan ratusan<br />
tahun, tetapi ribuan tahun”, begitu tekad Bung<br />
Kar<strong>no</strong>, seraya melanjutkan, “Agar kelak anak<br />
cucu kita paham bahwa Presiden Indonesia<br />
yang pertama sangat mencintai Islam”.<br />
Tak lama berselang, Bung Kar<strong>no</strong> pun<br />
membangun Tugu Monumen Nasional (Monas)<br />
sebagai icon kota Jakarta dan Indonesia<br />
pada umumnya. Tak urung, proyek itu<br />
mengundang pertanyaan, termasuk orangorang<br />
dekat Bung Kar<strong>no</strong>. Satu di antara<br />
mereka bertanya kepada Bung Kar<strong>no</strong><br />
tentang mana yang lebih diprioritaskan,<br />
apakah pembangunan Monas atau masjid<br />
Istiqlal. Apa jawaban Bung Kar<strong>no</strong>?<br />
“Prioritaskan pembangunan Tugu Monas”.<br />
Jawaban Bung Kar<strong>no</strong> tentu cukup<br />
mengagetkan. Hingga akhirnya Bung Kar<strong>no</strong><br />
melengkapi jawabannya. “Mengapa harus<br />
Monas yang diprioritaskan? Karena jika saya<br />
mati saat Monas dan Istiqlal dibangun, maka<br />
bisa saya pastikan masjid Istiqlal pasti<br />
selesai. Sebab, membangun masjid adalah<br />
membangun rumah Tuhan sehingga<br />
sekalipun saya mati ketika masjid itu belum<br />
selesai, tak satu pun yang bisa menghentikan<br />
pembangunannya. Tapi tidak demikian halnya<br />
dengan Monas. Jika saya mati, belum tentu<br />
pengganti saya meneruskan pembangunannya”.<br />
Benar. Mulai 1960, pembangunan masjid<br />
Istiqlal melambat. Bung Kar<strong>no</strong> masih<br />
membangun beberapa proyek mercu suar<br />
lainnya. Hingga akhirnya terjadi peristiwa 30<br />
September 1965. Sejak pemancangan tiang<br />
pertama, bangunan utama baru selesai<br />
enam tahun kemudian, tepatnya 31 Agustus<br />
1967. Peresmian ditandai dengan<br />
berkumandangnya adzan magrib yang<br />
pertama di masjid itu. Saat itu Bung Kar<strong>no</strong><br />
sudah tidak lagi berkuasa.<br />
Secara keseluruhan pembangunan masjid<br />
Istiqlal baru selesai 17 tahun sejak<br />
pemancangan tiang pertama. Peresmian<br />
majid dilakukan pada 22 Februari 1978 oleh<br />
Presiden Soeharto. Seperti sudah meramal<br />
takdirnya, Bung Kar<strong>no</strong> sudah wafat pada<br />
21 Juni 1970 ketika pembangunan masjid<br />
Istiqlal masih berlangsung. Sementara di<br />
seberang sana Tugu Monas sudah tegak<br />
berdiri. ❏<br />
BS<br />
EDISI NO.02/TH.VIII/FEBRUARI <strong>2014</strong><br />
79