06.11.2014 Views

no-02th-viiifebruari-2014

no-02th-viiifebruari-2014

no-02th-viiifebruari-2014

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Bung Kar<strong>no</strong> melakukan pengawasan teknis pembangunan masjid<br />

“kebebasan” atau “kemerdekaan”, dalam<br />

pemikiran Bung Kar<strong>no</strong>, sangat tepat bila<br />

didirikan di atas taman Wilhelmina. Pasalnya,<br />

Ratu Belanda Wilhelmina sebagai<br />

representasi penjajahan di bumi Indonesia,<br />

bagi Bung Kar<strong>no</strong>, harus dihancurkan,<br />

dimusnahkan, dan diganti masjid yang<br />

bernama “kebebasan”. Istiqlal. Akhirnya,<br />

dengan pemaknaan seperti itu, semua orang<br />

setuju dengan sikap dan pilihan Bung Kar<strong>no</strong>.<br />

Bung Kar<strong>no</strong> juga melandaskan pada<br />

filosofi lain ketika menetapkan lokasi untuk<br />

pembangunan masjid Istiqlal. Lokasi masjid<br />

terletak yang di seberang Lapangan<br />

Banteng itu dipilih karena berdekatan dengan<br />

Gereja Kathedral. “Istiqlal di satu sisi.<br />

Kathedral di sisi lain, berdiri kokoh dan megah<br />

dengan harmonis adalah lambang<br />

harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia.”<br />

Kira-kira seperti itu Bung Kar<strong>no</strong><br />

memaknai lokasi masjid Istiqlal.<br />

Gagasan untuk mendirikan masjid terbesar<br />

di Ibukota Republik Indonesia itu sebenarnya<br />

sudah muncul pada 1953. Setahun<br />

kemudian, 1954, didirikanlah Yayasan Masjid<br />

Istiqlal. Ketua yayasan ini adalah<br />

Tjokroami<strong>no</strong>to. Lalu pada 1955<br />

diselenggarakan sayembara rancang<br />

bangun atau arsitektur masjid. Hadiah utama<br />

sayembara ini adalah uang tunai sebesar<br />

Rp 75.000 dan emas murni 75 gram.<br />

Sayembara rancang bangun dan arsitektur<br />

masjid ini diikuti 27 peserta.<br />

Ketua Dewan Juri sayembara ini adalah<br />

Presiden Soekar<strong>no</strong>. Anggota dewan juri di<br />

antaranya Prof. Ir. Roose<strong>no</strong>, Ir. H. Djuanda,<br />

Prof. Ir. Suwardi, Hamka, H. Abubakar Aceh,<br />

dan Oemar Husein Amin. Frederich Silaban,<br />

seorang arsitek Kristen kelahiran Bonandolok,<br />

Sumatera Utara, keluar sebagai pemenang<br />

sayembara arsitektur masjid Istiqlal.<br />

Pengerjaan masjid berlantai lima yang<br />

melambangkan kewajiban shalat lima waktu<br />

dalam satu hari akhirnya dimulai. Setelah<br />

melalui pendalaman desain serta persiapan<br />

matang, pada 24 Agustus 1961, bertepatan<br />

dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad<br />

SAW, Presiden Ir. Soekar<strong>no</strong> sebagai Kepala<br />

Bidang Teknik, berkenan melakukan upacara<br />

pemancangan tiang pertama pembangunan<br />

masjid Istiqlal.<br />

Sebagai Kepala Bidang Teknik, Bung<br />

Kar<strong>no</strong> sendiri yang melakukan pengawasan<br />

teknis pembangunan masjid sejak fase<br />

pembangunan pondasi. Kepada sejumlah<br />

orang dekatnya, bukan sekali dua kali Bung<br />

Kar<strong>no</strong> menyampaikan ambisinya untuk<br />

membangun masjid yang megah dan kokoh.<br />

“Jika Candi Borobodur yang dibangun<br />

leluhur kita untuk mengagungkan Budha bisa<br />

bertahan ratusan tahun maka saya ingin<br />

masjid Istiqlal tidak hanya tahan ratusan<br />

tahun, tetapi ribuan tahun”, begitu tekad Bung<br />

Kar<strong>no</strong>, seraya melanjutkan, “Agar kelak anak<br />

cucu kita paham bahwa Presiden Indonesia<br />

yang pertama sangat mencintai Islam”.<br />

Tak lama berselang, Bung Kar<strong>no</strong> pun<br />

membangun Tugu Monumen Nasional (Monas)<br />

sebagai icon kota Jakarta dan Indonesia<br />

pada umumnya. Tak urung, proyek itu<br />

mengundang pertanyaan, termasuk orangorang<br />

dekat Bung Kar<strong>no</strong>. Satu di antara<br />

mereka bertanya kepada Bung Kar<strong>no</strong><br />

tentang mana yang lebih diprioritaskan,<br />

apakah pembangunan Monas atau masjid<br />

Istiqlal. Apa jawaban Bung Kar<strong>no</strong>?<br />

“Prioritaskan pembangunan Tugu Monas”.<br />

Jawaban Bung Kar<strong>no</strong> tentu cukup<br />

mengagetkan. Hingga akhirnya Bung Kar<strong>no</strong><br />

melengkapi jawabannya. “Mengapa harus<br />

Monas yang diprioritaskan? Karena jika saya<br />

mati saat Monas dan Istiqlal dibangun, maka<br />

bisa saya pastikan masjid Istiqlal pasti<br />

selesai. Sebab, membangun masjid adalah<br />

membangun rumah Tuhan sehingga<br />

sekalipun saya mati ketika masjid itu belum<br />

selesai, tak satu pun yang bisa menghentikan<br />

pembangunannya. Tapi tidak demikian halnya<br />

dengan Monas. Jika saya mati, belum tentu<br />

pengganti saya meneruskan pembangunannya”.<br />

Benar. Mulai 1960, pembangunan masjid<br />

Istiqlal melambat. Bung Kar<strong>no</strong> masih<br />

membangun beberapa proyek mercu suar<br />

lainnya. Hingga akhirnya terjadi peristiwa 30<br />

September 1965. Sejak pemancangan tiang<br />

pertama, bangunan utama baru selesai<br />

enam tahun kemudian, tepatnya 31 Agustus<br />

1967. Peresmian ditandai dengan<br />

berkumandangnya adzan magrib yang<br />

pertama di masjid itu. Saat itu Bung Kar<strong>no</strong><br />

sudah tidak lagi berkuasa.<br />

Secara keseluruhan pembangunan masjid<br />

Istiqlal baru selesai 17 tahun sejak<br />

pemancangan tiang pertama. Peresmian<br />

majid dilakukan pada 22 Februari 1978 oleh<br />

Presiden Soeharto. Seperti sudah meramal<br />

takdirnya, Bung Kar<strong>no</strong> sudah wafat pada<br />

21 Juni 1970 ketika pembangunan masjid<br />

Istiqlal masih berlangsung. Sementara di<br />

seberang sana Tugu Monas sudah tegak<br />

berdiri. ❏<br />

BS<br />

EDISI NO.02/TH.VIII/FEBRUARI <strong>2014</strong><br />

79

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!