11.06.2013 Views

indonesia1210inWeb

indonesia1210inWeb

indonesia1210inWeb

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

III. Penegakan Syariah di Aceh<br />

Kepolisian Nasional diberi wewenang untuk menegakkan semua hukum di Aceh, termasuk<br />

peraturan-peraturan di tingkat provinsi dan kabupaten, tetapi penegak utama hukum<br />

pidana bernuansa Syariah di Aceh adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP),<br />

khususnya Wilayatul Hisbah (WH). Sebagaimana dijelaskan di bawah ini, warga sipil juga<br />

berperan langsung dalam menegakkan Perda-perda bernuansa Syariah, peranan yang<br />

secara jelas ditetapkan dalam Perda-perda tersebut.<br />

Peran Wilayatul Hisbah<br />

Gubernur dan bupati/camat di Aceh, sebagaimana entitas administratif lainnya di Indonesia,<br />

dapat membentuk Satpol PP untuk menegakkan peraturan terkait dengan “ketertiban publik<br />

dan ketentraman masyarakat.” 47 UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) secara<br />

khusus memberi wewenang kepada Pemerintah Daerah Aceh untuk membentuk unit WH<br />

yang bertanggung jawab menerapkan hukum Syariah sebagai bagian dari Satpol PP. 48<br />

Petugas-petugas Satpol PP lainnya sesekali mengadakan patroli dan operasi bersama<br />

dengan rekan-rekannya di WH.<br />

Marzuki Abdullah, Kepala Satpol PP-WH di Aceh, mengatakan di media pada bulan Agustus<br />

2010 bahwa pasukannya terdiri dari 6.300 petugas—laki-laki dan perempuan—yang tersebar<br />

di seluruh Aceh. 49 Petugas-petugas WH ditempatkan di tingkat provinsi maupun<br />

kabupaten/kota. Bustami, seorang petugas WH yang memulai pelatihannya pada bulan<br />

Januari 2010, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa pasukan WH terdiri dari para<br />

petugas yang dipekerjakan berdasarkan kontrak dan sejumlah “sukarelawan,” yang tidak<br />

menerima upah tetapi melalui proses perekrutan yang sama dengan para pekerja kontrak. 50<br />

Ketika Bustami ditemui oleh Human Rights Watch pada bulan Mei 2010, ia sedang menjalani<br />

47<br />

Undang-undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 244(1). Sejumlah pemerintah kabupaten dan kota di<br />

Indonesia telah membentuk Satpol PP. Mereka terpisah dari Kepolisian dan diberdayakan untuk menegakkan peraturanperaturan<br />

administratif terkait ketertiban dan keamanan publik dan biasanya diberdayakan untuk mengumpulkan pajak<br />

daerah dan untuk menegakkan ketertiban publik setempat. Human Rights Watch mendokumentasikan penggunaan<br />

kekerasan yang berlebihan oleh Satpoll PP Jakarta dalam mengusir penduduk daerah kumuh perkotaan. Human Rights Watch,<br />

Condemned Communities [Kelompok yang Dikutuk], 5 September 2006,<br />

http://www.hrw.org/en/node/11220/section/4#_ftn39 (diakses pada tanggal 30 Agustus 2010).<br />

48<br />

Ibid., Pasal 244(2). Walaupun pasukan WH Aceh awalnya dibentuk di bawah otoritas Dinas Syariat Islam, WH kemudian<br />

disatukan dengan Satpol PP.<br />

49<br />

Wawancara Human Rights Watch dengan Marzuki Abdullah, Kepala WH Aceh, Banda Aceh, 19 Mei 2010.<br />

50 Wawancara Human Rights Watch dengan “Bustami,” Banda Aceh, 17 Mei 2010. Seorang aktivis masyarakat sipil di Banda<br />

Aceh mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa seorang petugas WH memberitahu dia bahwa ia digaji hampir Rp 1,2<br />

juta per bulan.<br />

Menegakkan Moralitas 22

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!