11.06.2013 Views

indonesia1210inWeb

indonesia1210inWeb

indonesia1210inWeb

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Indonesia juga memiliki kewajiban mencegah terjadinya penegakan hukum Syariah secara<br />

main hakim sendiri oleh warga sipil, memberikan sanksi terhadap kekerasan sipil yang<br />

terjadi, dan melindungi rakyat dari ancaman kekerasan lebih lanjut terhadap mereka. Saat<br />

ini, Indonesia gagal memenuhi kewajiban ini karena pihak penegak hukum tidak<br />

mendorong para korban kekerasan untuk melaporkan tindak kekerasan dan menolak<br />

menyelidiki dan menghukum orang-orang yang terlibat dalam kekerasan tersebut, walaupun<br />

penegak hukum mengetahui adanya tindak kekerasan. Dorongan untuk menyelesaikan<br />

perselisihan semacam ini melalui mekanisme hukum adat bukanlah respon yang cukup,<br />

khususnya ketika mekanisme adat tersebut diterapkan secara selektif, lemah dalam<br />

menjamin proses yang adil, tidak menghukum para pelaku kekerasan, dan menerapkan<br />

hukum yang tidak sesuai dan tidak sebanding terhadap mereka yang dituduh melakukan<br />

“perbuatan bersunyi-sunyian.”<br />

Syariah, Hukum Nasional, dan Hak Asasi Manusia di Indonesia<br />

Penerapan Syariah di Aceh terjadi dalam konteks arsitektur hukum yang rumit. Tiga (3)<br />

kerangka hukum yang saling tumpang tindih berlaku di Aceh: sistem hukum umum formal,<br />

sistem hukum Syariah formal, dan sistem hukum adat istiadat informal. Sistem hukum ini<br />

berlaku dalam hirarki yang jelas: UUD 1945 Indonesia adalah sumber hukum tertinggi,<br />

diikuti oleh hukum yang disahkan di tingkat nasional, diikuti oleh hukum umum dan Syariah<br />

yang disahkan di tingkat provinsi dan kabupaten di Aceh, diikuti oleh hukum adat dan<br />

kebiasaan. Akan tetapi, perlu ada beberapa mekanisme yang diterapkan untuk memastikan<br />

bahwa hirarki ini dijaga dan yang mengatur ketiga tingkatan ini agar tidak saling<br />

bertentangan. Apa yang ada saat ini tampaknya berjalan buruk.<br />

Beberapa pemikir Islam, dari Aceh maupun dari daerah lain di Indonesia, menekankan<br />

kepada Human Rights Watch bahwa secara teori, tidak ada pertentangan antara sebagian<br />

besar aspek hukum hak asasi manusia, hukum nasional Indonesia, dan penerapan hukum<br />

Syariah di Aceh. Al Yasa’ Abubakar, mantan kepala Dinas Syariat Islam, mengatakan kepada<br />

Human Rights Watch bahwa pada prinsipnya, hukum Syariah dapat berjalan secara selaras<br />

dengan kerangka hukum nasional Indonesia, walaupun para pejabat di Aceh berpendapat<br />

tugas tersebut sulit, karena mereka percaya tidak ada contoh memadai yang dapat mereka<br />

ikuti.179 Mohammad Nazar, Wakil Gubernur Aceh, sepakat bahwa dalam banyak aspek,<br />

Syariah dapat selaras dengan hak asasi manusia. Ia mengatakan, “Bagi kami, Islam<br />

merupakan cara dari Tuhan untuk menentukan hidup orang, dengan peradaban, tidak dengan<br />

ideologi radikal. Kami harus menyiapkan masyarakat untuk memahami bahwa hukum Islam<br />

179 Wawancara Human Rights Watch dengan Al Yasa’ Abubakar, Banda Aceh, 21 Mei 2010.<br />

Menegakkan Moralitas 70

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!