indonesia1210inWeb
indonesia1210inWeb
indonesia1210inWeb
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
pembelaan Islam.194 Pemerintah provinsi, kota dan kabupaten Aceh dapat menerapkan<br />
Syariah, tetapi mereka juga harus ”menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati<br />
nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama<br />
untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya.”195 Para petinggi di Aceh<br />
juga dilarang oleh UU PA “membuat keputusan … yang bertentangan dengan peraturan<br />
perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok<br />
masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain.” 196<br />
Walaupun badan eksekutif Pemerintah Pusat umumnya memiliki wewenang untuk<br />
membatalkan hukum-hukum yang bertentangan dengan kepentingan publik, atau berbenturan<br />
dengan hukum lain atau menggantikan undang-undang dan peraturan lain, UU PA<br />
mengecualikan Qanun berbasis Syariah dari wewenang ini. Akibatnya, Mahkamah Agung<br />
adalah satu-satunya lembaga pemerintahan nasional di Indonesia yang dapat membatalkan<br />
qanun Syariah. Walau demikian, sebagaimana dilaporkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan<br />
Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Mahkamah Agung pernah menolak mengkaji<br />
kesesuaian isi peraturan daerah terkait moralitas dengan hukum yang lebih tinggi, melainkan<br />
hanya mengatakan bahwa peraturan tersebut disahkan melalui prosedur yang tepat. 197<br />
Standar-standar Internasional<br />
Indonesia adalah Negara anggota sebagian besar perjanjian hak asasi internasional,<br />
termasuk Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), 198 Konvensi<br />
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan<br />
194 Ibid., Pasal 125.<br />
195 Ibid., Pasal 127.<br />
196 Ibid., Pasal 47.<br />
197<br />
Pada bulan April 2007, Mahkamah Agung menolak mengkaji peraturan yang diberlakukan di Kabupaten Tangeran yang<br />
secara tidak jelas mengkriminalisasi ”prostitusi” terhadap kesesuaian secara substansi dengan hukum-hukum yang lebih<br />
tinggi atau Konsitusi, dan sebaliknya memutuskan bahwa peraturan daerah tersebut tidak bertentangan dengan hukum<br />
Indonesia yang lebih tinggi karena telah mengikuti langkah-langkah sesuai prosedur. “Perda Pelacuran Tangerang Tak<br />
Bertentangan dengan UU”, Gatra, 13 April 2007. Perda tersebut menyebutkan: ” [s]etiap orang yang sikap atau<br />
perilakunya…menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada…di daerah kelihatan oleh umum.”<br />
Perda Kabupaten Tangerang No. 8/2005, dikutip dari Komnas Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan<br />
Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia (2009), Tabel 7. Sebagai tambahan, pada tahun 2008 Mahkamah<br />
Agung mendengarkan banding lima (5) kasus Syariah Aceh, empat (4) di antaranya melibatkan hukuman cambuk. Dalam<br />
masing-masing kasus, Mahkamah Agung mempertahankan putusan bersalah dan tidak memeriksa kesesuaiannya hukum<br />
yang mendasari putusan tersebut dengan hukum nasional. Kasus No. 01 K/AG/JN/2008, No. 01 PK/JN/2008, No. 02<br />
K/AG/JN/2008, No. 03 K/AG/JN/2008, No. 04 K/AG/JN/2008, sebagaimana dicatat oleh Human Rights Watch.<br />
198<br />
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), diadopsi pada tanggal 16 Desember 1966, G.A. Res.<br />
2200A (XXI), 21 U.N. GAOR Supp. (No. 16) di 52, U.N. Doc. A/6316 (1966), 999 U.N.T.S. 171, mulai berlaku pada tanggal 23<br />
Maret 1976. Indonesia meratifikasi ICCPR pada tahun 2006.<br />
73 Human Rights Watch | Desember 2010