11.06.2013 Views

indonesia1210inWeb

indonesia1210inWeb

indonesia1210inWeb

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

pakaian ketat. Tetapi pakaian perempuan tersebut sopan!” 163 Erni mengatakan kepada<br />

Human Rights Watch bahwa bahkan setelah ia dihentikan oleh WH, ia tetap tidak tahu<br />

standar apa yang diterapkan oleh WH dalam menilai busana perempuan. Ia mengatakan<br />

“[Laki-laki petugas WH] menyuruh kami untuk mengenakan rok dan jangan pernah<br />

mengenakan jeans. Tetapi kemudian seorang perempuan petugas WH mengatakan bahwa<br />

saya boleh mengenakan celana panjang, tetapi jika saya melakukannya, atasan saya harus<br />

mencapai di bawah lutut. Saya tidak tahu yang mana yang dapat diterima—mungkin jika<br />

saya mengenakan celana ketat tapi dengan atasan yang sangat panjang?” 164<br />

Bukti juga menunjukkan bahwa perempuan yang menjadi target tindakan-tindakan<br />

semacam itu biasanya muda dan tidak kaya. Pengaduan yang sering disuarakan oleh<br />

perempuan adalah bahwa ketika WH mengadakan pemeriksaan, mereka hanya<br />

menghentikan perempuan yang mengendarai motor dan tidak menghentikan mobil.<br />

Akibatnya, tindakan penegakan WH kerap menjadikan kaum miskin sebagai target. WH<br />

menjadikan perempuan muda sebagai target dengan mengadakan razia di dekat sekolah<br />

menengah atas (SMA) atau universitas. Maliyah menceritakan satu kejadian yang ia lihat<br />

pada bulan Desember 2009. Dia mengatakan kepada Human Rights Watch, “Ada razia di<br />

depan sebuah SMA. Ada banyak perempuan di jalan, tetapi mereka hanya menghentikan<br />

perempuan yang mengendarai motor atau kendaraan umum. Saya berada di dalam mobil,<br />

dan saya tidak mengenakan jilbab, tetapi saya tidak dihentikan. WH tidak adil.” 165<br />

Komnas Perempuan dan sumber-sumber media mengutip bukti yang menunjukkan bahwa<br />

polisi WH juga menggunakan hukum Syariah—baik Qanun No. 11/2002 maupun Qanun No.<br />

14/2003—sebagai dalih untuk menahan dan menegur perempuan transjender (individuindividu<br />

transjender--laki-laki yang mengadopsi jender perempuan) dan individu-individu<br />

yang jendernya tidak sesuai dengan harapan masyarakat (non-conforming) atas dasar<br />

ekspresi dan identitas jender mereka. Wawancara kami mendukung kesimpulan tersebut. 166<br />

163<br />

Wawancara Human Rights Watch dengan “Erni,” Banda Aceh, 15 Mei 2010.<br />

164<br />

Ibid.<br />

165<br />

Wawancara Human Rights Watch dengan “Maliyah,” Banda Aceh, 14 Mei 2010. Lihat Tom Boellstorff, “The Emergence of<br />

Political Homophobia in Indonesia: Masculinity and National Belonging [Munculnya Homofobia Politik di Indonesia:<br />

Maskulinitas dan Kepemilikan Nasional],” Ethnos, vol. 69:4, Desember 2004, hlm. 465–486,<br />

http://www.asylumlaw.org/docs/sexualminorities/IndonesiaBoellstorff-Homophobia123004.pdf (diakses pada tanggal 31<br />

Agustus 2010).<br />

166<br />

Ada kebiasaan lama atas ekspresi transjender di Indonesia, dimana perempuan transjender dikenal sebagai waria (kata yang<br />

berasal dari kata ’wanita’, yang berarti perempuan, dan ’pria’, yang berarti laki-laki). Perilaku homoseksual tidak diatur dalam<br />

hukum di tingkat nasional di Indonesia; tetapi, beberapa pengamat mencatat adanya peningkatan prasangka terhadap orangorang<br />

yang dianggap homoseksual dan transjender. Dédé Oetomo, “Claiming gay persons' sexual rights in Indonesia [Menuntut<br />

hak seksual orang-orang gay di Indonesia],” Sexual Health Exchange vol. 3, 2001, http://www.kit.nl/exchange/html/2001-3claiming_gay_persons.asp<br />

(mencatat bahwa waria mendapatkan toleransi dan penerimaan yang cukup tinggi dalam masyarakat<br />

Menegakkan Moralitas 64

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!