Download PDF (8.7 MB) - DhammaCitta
Download PDF (8.7 MB) - DhammaCitta
Download PDF (8.7 MB) - DhammaCitta
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
BERPIKIR BUDDHIS<br />
membuat diri kita selalu hidup dalam penderitaan<br />
yang berkepanjangan karena mencari kebahagiaan<br />
melalui pemuasan nafsu keinginan.<br />
Tetapi apakah benar kita tidak memperoleh<br />
manfaat dari kebahagiaan sesaat yang kita alami<br />
dalam pemuasan nafsu keinginan itu? Inilah hal yang<br />
akan kita simak bersama di bawah ini.<br />
Kita fokuskan perhatian pada apa yang terjadi<br />
ketika mendapatkan apa yang diinginkan. Mengapa<br />
saat itu kita bisa merasa begitu bersemangat<br />
dan berbahagia? Mengapa kita merasa demikian<br />
melambung tinggi dan menyenangkan? Sekarang<br />
kita simak kondisi itu dengan cermat. Apakah yang<br />
hilang ketika kebahagiaan itu muncul? Ah, ya...<br />
kita dapat melihatnya sekarang! Keinginan yang<br />
membebani kita selama ini telah hilang bersamaan<br />
dengan terpenuhinya keinginan tersebut. Benar, kita<br />
telah berhasil menemukan proses muncul lenyapnya<br />
penderitaan dan kebahagiaan. Ketika keinginan<br />
itu muncul, kita menderita; ketika keinginan itu<br />
tercapai, hilanglah penderitaan dan muncullah<br />
kebahagiaan. Namun ketika keinginan berikutnya<br />
muncul, lenyaplah kebahagiaan yang sebelumnya<br />
dan muncullah penderitaan yang baru. Tanpa kita<br />
sadari proses ini berlangsung secara terus menerus<br />
dalam kehidupan kita. Ah ..... alangkah bodohnya<br />
kita selama ini? Inilah yang disebut dalam Empat<br />
Kesunyataan sebagai sumber dukkha, yaitu nafsu<br />
keinginan dalam diri kitalah yang menjadikan kita<br />
menderita.<br />
Kenyataan ini tentu saja tidak bisa diterima<br />
begitu saja oleh banyak orang. Dalam pikiran<br />
seseorang yang masih dikotori oleh nafsu keinginan<br />
yang bersekutu dengan keserakahan, maka akan<br />
timbul sebuah pemikiran: “apabila tidak punya<br />
keinginan maka aku akan jadi orang yang pesimis<br />
dan tidak bersemangat, juga tidak bisa berkembang<br />
dong.” Orang ini akan takut kehilangan keinginannya<br />
karena mengira dengan adanya keinginan maka<br />
akan bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya.<br />
Demikianlah apapun alasan yang dibuat karena<br />
ketakutan akan kehilangan keinginan adalah hal yang<br />
wajar bagi orang yang salah pemikirannya. Ini harus<br />
diperhatikan dan diubah. Kita harus tahu bahwa<br />
kemajuan tidak bisa dicapai dengan keinginan saja<br />
tapi harus dengan usaha. Sedang optimisme bukan<br />
muncul dari keinginan tetapi dari pengetahuan dan<br />
kebijaksanaan akan apa yang akan dicapai di masa<br />
depan.<br />
Bukan hal yang mudah bagi diri kita untuk<br />
mengubah hal ini karena telah begitu lama kita<br />
dipengaruhi dan menggantungkan hidup kita pada<br />
nafsu keinginan. Kita mendedikasikan hidup untuk<br />
memuaskan nafsu keinginan kita yang sangat beragam<br />
98<br />
98 / SINAR DHARMA<br />
dan tiada henti. Untuk mengubahnya, mulai<br />
sekarang harus kita tanyakan dan pahami, apakah<br />
tindakan atau perbuatan kita selama ini sudah benar<br />
dan bermanfaat? Apakah kita akan membiarkan<br />
diri terus berputar dalam arus kebodohan dengan<br />
berpegangan pada tanha (keinginan rendah) yang<br />
terus mempermainkan hidup kita? Apakah kita<br />
masih ingin terus menerus mengejar sesuatu yang<br />
tidak ada batas akhirnya demi pemuasan nafsunafsu<br />
keserakahan, kebencian dan kebodohan<br />
dalam kehidupan yang panjang ini?<br />
Semoga dengan pengertian ini kita semua<br />
dapat menyadari kebodohan selama ini, lalu<br />
memutuskan untuk segera membebaskan diri dan<br />
tidak lagi mempermainkan diri sendiri. Semoga<br />
pilihan dan usaha kita yang baru dapat membawa<br />
kepada kebahagiaan yang sesungguhnya dan<br />
permanen. Dan semoga kebahagiaan kita tidak<br />
diganggu oleh nafsu keinginan lainnya yang lebih<br />
halus dan tersamar.<br />
Namun, apakah dengan demikian kita tidak<br />
boleh memiliki keinginan? Tidak boleh mengejar<br />
kebahagiaan? Dari uraian di atas kita tahu bahwa<br />
keinginan menjadi bahagia dengan mengejar<br />
bayang-bayang di luar diri juga merupakan sebuah<br />
penderitaan selama kebahagiaan itu belum<br />
terwujudkan. Dengan kata lain, selama kita mengejar<br />
keinginan untuk menjadi bahagia itu menunjukkan<br />
sebenarnya kita belum berbahagia. Sebaliknya,<br />
ketika kita sudah mencapai kebahagiaan maka kita<br />
berhenti mengejar keinginan, yang berarti bahwa<br />
ketika kita sudah tidak mengejar keinginan untuk<br />
menjadi bahagia maka kebahagiaan itu sudah ada<br />
dalam diri kita.<br />
Mungkin bagi sebagian orang, ucapan “tidak<br />
mengejar keinginan untuk menjadi bahagia”<br />
adalah sulit dimengerti, pun tak tahu bagaimana<br />
menerapkannya dalam kehidupan yang penuh dengan<br />
tuntutan dan godaan keinginan-keinginan duniawi<br />
ini. Sebenarnya mudah saja memahami ucapan itu.<br />
Kalau memang ingin mengejar keinginan, kejarlah<br />
keinginan yang dilandaskan pada rasa welas asih<br />
terhadap semua makhluk hidup, itulah keinginan<br />
yang akan mengantar kita pada kebahagiaan yang<br />
takkan pernah padam yang bermanfaat bagi semua<br />
makhluk. Nyalakanlah lampu yang bukan berfungsi<br />
merefleksikan bayangan kita, melainkan lampu<br />
yang menembus kegelapan yang membimbing para<br />
makhluk untuk juga menemukan dan menyalakan<br />
lampu kebijakan serupa di dalam diri masingmasing.<br />
Semoga semua makhluk yang tersadarkan<br />
mampu hidup bahagia. Semoga semua makhluk<br />
hidup berbahagia .<br />
SINAR DHARMA