22.11.2014 Views

Download PDF (8.7 MB) - DhammaCitta

Download PDF (8.7 MB) - DhammaCitta

Download PDF (8.7 MB) - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

BERPIKIR BUDDHIS<br />

itu adalah sebuah hal yang sangat bergantung pada<br />

kondisi dan tidak memiliki rumus yang pasti?<br />

Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita<br />

lihat apa yang telah kita lakukan selama ini. Seringkali<br />

kita berpikir dan merasa bahwa apabila mempunyai<br />

keinginan yang bisa dikejar, maka kebahagiaan akan<br />

menyertai kita. Sebaliknya, apabila tidak mempunyai<br />

keinginan maka hidup kita akan menjadi hambar<br />

dan tidak berkembang. Inilah yang ada dalam<br />

pengertian sebagian besar dari kita. Kalau memang<br />

kita berpikir seperti ini, secara tidak langsung dapat<br />

dikatakan bahwa kita selalu mengejar bayangan<br />

diri kita sendiri. Ketika kita menganggap keinginan<br />

adalah bayang-bayang dari kebahagiaan, maka kita<br />

kemudian akan terus berusaha mengejar keinginan<br />

itu. Ironisnya, bayangan itu selalu menjauhi diri kita.<br />

Sebaliknya apabila kita takut kalau tidak memiliki<br />

keinginan, maka ibaratnya kita berlari ketakutan<br />

dikejar bayangan kita sendiri. Dalam dua kondisi ini<br />

kita telah bertindak bodoh dengan tidak menyadari<br />

dari mana asal mula bayangan itu muncul.<br />

Dengan berkenan menenangkan diri dan menyadari<br />

kenyataan yang ada, maka takkan sulit bagi kita<br />

untuk menemukan bahwa bayangan itu sebenarnya<br />

menempel di kaki kita. Sangat dekat sekali dengan<br />

diri kita. Sehingga apabila kita mengejar dengan<br />

penuh hasrat ataupun melarikan diri dengan rasa<br />

takut, bayangan itu akan tetap ada menempel pada<br />

diri kita.<br />

Demikanlah sebenarnya keinginan kita itu<br />

ibarat bayang-bayang kita sendiri yang akan selalu<br />

muncul apabila ada cahaya. Dalam hal ini cahaya<br />

bisa kita artikan sebagai nafsu keinginan yang<br />

mengandung loba, dosa dan moha. Nafsu keinginan<br />

ini ada dalam diri kita, tidak bisa kita tolak dan<br />

berpengaruh sangat besar bagi diri kita. Tetapi<br />

hendaknya kita belajar menyadari bagaimana cara<br />

memperlakukan nafsu keinginan ini. Kita harus bisa<br />

memahami apa yang sebenarnya berlangsung dalam<br />

diri kita ketika sedang mengejar kebahagiaan.<br />

Apakah ini sebuah hal yang sangat berharga untuk<br />

dijalani dalam hidup kita ataukah sebuah kebodohan<br />

yang sia-sia?<br />

Untuk memahami hal ini, marilah kita lihat<br />

ilustrasi berikut. Ketika seseorang menginginkan<br />

sebuah mobil tetapi uang yang dimilikinya tidak<br />

cukup, maka dengan segala kemampuan yang<br />

dimilikinya dia akan berusaha mencari uang untuk<br />

mendapatkan mobil itu. Dia menabung dan melakukan<br />

segala macam pengorbanan. Segala aktivitas yang<br />

disenangi dan menghabiskan uang akan dikorbankan<br />

untuk menambah jumlah tabungannya. Selama<br />

masih belum mendapatkan mobil, selama itu pula dia<br />

selalu bermimpi dan berharap dapat segera membeli<br />

mobil yang diidam-idamkan. Selama kurun waktu ini<br />

hidupnya penuh dengan penderitaan mengejar yang<br />

disebut sebagai kebahagiaan mendapatkan mobil.<br />

Ketika pada akhirnya dia telah membeli mobil itu,<br />

kebahagiaan tak terhinggalah yang dirasakannya.<br />

Dielus-elusnya mobil itu selama berhari-hari<br />

seakan–akan sebuah permata tak ternilai yang<br />

begitu lama diidam-idamkan yang sekarang telah<br />

hadir di depan mata dan menjadi miliknya. Selama<br />

berhari-hari dinaikinya mobil itu dengan bangganya.<br />

Dibersihkannya setiap hari dari segala macam<br />

kotoran seakan-akan takut mobil itu cacat, meski<br />

sedikit saja.<br />

Setelah berhari-hari, berminggu-minggu, akhirnya<br />

perasaannya menjadi netral dan mulai biasa-biasa<br />

saja dengan mobilnya itu. Ledakan kebahagiaannya<br />

menjadi surut dan batinnya kembali netral. Sampai<br />

suatu ketika melihat bahwa di mobil temannya<br />

terpasang sebuah sound sistem yang mutakhir, dia<br />

juga menginginkan mobilnya dilengkapi sound sistem<br />

yang sama. Untuk ini dia harus pula rela melakukan<br />

pengorbanan-pengorbanan lebih lanjut.<br />

Akhirnya kejadian yang sama terulang kembali.<br />

Dia mendapatkan apa yang diinginkannya. Sound<br />

sistem baru di mobilnya membuatnya merasa bahagia<br />

kembali untuk beberapa minggu atau mungkin<br />

hanya beberapa hari, sampai suatu ketika muncul<br />

lagi keinginan lainnya, seperti misalnya muncul<br />

varian mobil baru yang lebih menarik. Sekali lagi<br />

dia akan melakukan pengorbanan-pengorbanan dan<br />

menambah penderitaan bagi dirinya hanya untuk<br />

pemuasan nafsu keinginan yang tiada batas. Inilah<br />

yang disebut kondisi mengejar bayangan yang tidak<br />

akan pernah terkejar.<br />

Lalu kebahagiaan itu sesungguhnya ada di<br />

mana? Sebenarnya apabila kita mau meluangkan<br />

sedikit waktu menengok ke dalam diri sendiri,<br />

kebahagiaan itu tidak perlu dicari dengan mengejar<br />

yang berada di luar. Yang perlu kita lakukan hanyalah<br />

mematikan lampu yang menimbulkan refleksi<br />

bayangan itu. Dengan demikian kita tidak akan<br />

pernah dikejar atau mengejar bayangan tersebut<br />

karena penyebab munculnya bayangan itu telah<br />

padam dan hilang. Lampu ini adalah nafsu keinginan<br />

dalam diri kita yang tidak pernah padam. Selalu saja<br />

muncul dan berkejaran akibat keserakahan kita<br />

yang tiada henti, kemudian berkembang menjadi<br />

kebencian ketika keinginan itu tidak terpenuhi<br />

dan akhirnya melakukan hal-hal bodoh yang<br />

tidak ada gunanya tanpa kita sadari. Inilah yang<br />

SINAR DHARMA<br />

97<br />

SINAR DHARMA / 97

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!