22.11.2014 Views

Download PDF (8.7 MB) - DhammaCitta

Download PDF (8.7 MB) - DhammaCitta

Download PDF (8.7 MB) - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

PENGALAMAN DHARMA<br />

Mohon maaf untuk para sahabat yang mengirim<br />

email bertanya kelanjutan tulisan perjalanan<br />

spiritual di blog aku, yang tak ada kelanjutannya.<br />

Ini semata kesibukan mengurus penerbitan Majalah<br />

Mamit. Terimakasih atas dukungan dan sapaannya,<br />

mengingatkan aku meneruskan tulisanku di blog.<br />

Ada beberapa hal yang akan aku ceritakan dalam<br />

perjalanan ke Sumatra, sebelum akhirnya kembali ke<br />

Jakarta, lalu berangkat ke Thailand bersama Bhante<br />

Nyanadasa (waktu itu masih samanera) dan Yuliana<br />

mengikuti acara Young Bodhisattva di Thailand.<br />

Sekitar sebulan menetap di Vihara Avalokitesvara,<br />

aku melanjutkan perjalanan keliling ke viharavihara<br />

pesisir. Dalam perjalanan kembali ke Medan,<br />

sampailah aku di wihara.. aku lupa itu di mana,<br />

mungkin Tanjung Balai Karimun. Katanya Bhante<br />

Nyanapratama sebelum jadi biku adalah mudamudi<br />

di situ. Letaknya sekitar 2 jam perjalanan dari<br />

Medan.<br />

Wihara itu adalah bangunan tua. Katanya ada<br />

kamar khusus Sukong di lantai atas. Sementara kuti<br />

untuk biku di lantai 2. Yang dimaksud Sukong adalah<br />

Almahum YM. Ashin Jinarakkhita.<br />

Namanya juga bangunan tua, wihara itu termasuk<br />

angker. Seorang anak yang menemui aku pada malam<br />

itu bertanya dengan innocent: “Bhante tidur di sini?”<br />

Suaranya sedikit aneh.<br />

“Iya, mau nginap juga?” tanyaku yang spontan<br />

yang ia jawab bergidik, “Ti..dak.”<br />

“Tempatnya angker, Bhante. Anak-anak di sini tak<br />

ada yang berani nginap di wihara. Katanya di kamar<br />

Sukong juga ada penunggunya,” kata dia menunjuk<br />

lantai atas.<br />

Wow… ketika dia pergi, tinggallah aku sendiri<br />

di gedung tua ini, sebagai pengembara waktu<br />

yang selalu bertemu tempat, pengalaman, dan<br />

pertulangan baru.<br />

Malam itu pun berlalu seperti malam umumnya.<br />

Pagi menjelang, saat A’i (panggilan Chinese<br />

untuk wanita setengah baya) yang biasa mengurus<br />

makanan Bhante datang, hal pertama yang dia tanya<br />

dengan mata selidik: “Semalam gimana, Bhante?<br />

Tidak terjadi apa-apa?”<br />

“Emang ada apa?” tanya aku heran.<br />

“Oh nggak,” katanya, terus mengalihkan<br />

pembicaraan ke hal lain.<br />

Live go on. Hari itu aku diajak putar-putar<br />

dengan perahu bermesin mengarungi sungai di<br />

depan wihara. Konon katanya, Sukong bilang posisi<br />

wihara yang menghadap sungai itu bagus, kata<br />

mereka.<br />

Malam tiba lagi, aku seorang diri lagi di wihara<br />

dalam tembok tua dan bau dingin wihara. Sunyi,<br />

senyap, yang ada hanyalah udara bergerak,<br />

biarkanlah udara itu bergerak, bukankah hakikat<br />

udara itu memang bergerak? Hehe.<br />

Keesokan pagi, saat menyiapkan makan pagi,<br />

wanita setengah baya itu kembali bertanya dengan<br />

mata selidik: “Semalam tidak apa-apa, Bhante?”<br />

Jawaban aku juga sama, “Nggak, emang<br />

kenapa?”<br />

Ia kembali bilang, “Nggak,” lalu bicara masalah<br />

lain lagi. Konon dia seorang guru, jadi pintarlah dia<br />

merangkai kata mengalirkan pembicaraan mengisi<br />

pagi itu.<br />

Ya, sejujurnya memang aku tak mengalami apaapa,<br />

takut-takut dikit ada juga, hehe. Tidur sendiri,<br />

di gedung tua yang konon sepertinya ada penghuni,<br />

tapi mereka tak berani cerita. Cuman seorang anak<br />

yang cerita bahwa tak ada di antara mereka berani<br />

menginap di wihara. Cukup aneh juga, mengingat di<br />

daerah lain, anak-anak biasa saja kalau menginap<br />

di wihara.<br />

Menjelang siang, saat anak itu datang lagi,<br />

ia terheran-heran melihat seekor burung gereja<br />

ditangkap aku dengan tangan kosong. Burung itu<br />

tak melakukan perlawanan apapun, pasrah.<br />

“Kok bisa yah, Bhante?” tanyanya terheranheran.<br />

“Yah bisa saja,” kata aku, “dia sedang sakit,”<br />

sambil mengambil butir nasi di meja memasukkan<br />

ke paruh burung itu.<br />

SINAR DHARMA<br />

51<br />

SINAR DHARMA / 51

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!