You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
WIRO SABLENG<br />
AZAB SANG MURID 3<br />
TAK SAMPAI sepeminuman teh <strong>Wiro</strong> dan Nyi Retno<br />
Mantili meninggalkan tempat itu, satu bayangan hitam<br />
berkelebat. Orang ini tegak sebentar, memandang<br />
berkeliling lalu dudukkan diri di satu tempat teduh. Tongkat<br />
di tangan kiri ditekankan ke tanah. Kepala tertunduk, muka<br />
yang tinggal kulit pembalut tulang tercenung sementara<br />
empat tusuk konde perak bergoyang-goyang di atas kepala.<br />
“Oala, kenapa hidup ini jadi begini?” Orang yang duduk<br />
di tanah yang bukan lain adalah nenek sakti Sinto<br />
Gendeng, guru Pendekar 212 berucap perlahan. Sepasang<br />
matanya yang cekung dan biasa angker kini tampak sayu.<br />
Apalagi mata sebelah kiri masih bengkak akibat<br />
perkelahian melawan Hantu Malam Bergigi Perak beberapa<br />
waktu lalu. “Tadi aku mendengar suara tawa perempuan<br />
itu. Kucari ke sini tak ada orangnya. Aku yakin anak setan<br />
itu sudah kembali dari Gunung Gede. Apakah dia bersama<br />
perempuan gembel berotak miring itu? Heh, jangan-jangan<br />
saat ini mereka tengah menuju ke pondok si Tambakpati.”<br />
Sinto Gendeng sengaja berada di sekitar kawasan di<br />
mana dia berada saat itu karena dia menyirap kabar dan<br />
menduga cepat atau lambat <strong>Wiro</strong> akan berada di hutan jati<br />
di Plaosan untuk menemui seorang bernama Djaka Tua<br />
yang akan menunggunya di pondok kediaman Ki<br />
Tambakpati. Seperti pernah diceritakan sebelumnya Ki<br />
Tambakpati adalah sahabat kental Sinto Gendeng semasa<br />
remaja.<br />
Sinto Gendeng julurkan dua kaki. Tubuhnya terasa letih.<br />
Mata dipejamkan namun saat itu kembali terbayang sosok<br />
makhluk bayangan berupa perempuan cantik.