Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
mendapatkan kitab pengobatan itu.” Lalu dengan suara<br />
dikeraskan Setan Ngompol berkata. “Kalian berdua<br />
kembalilah ke Kaliurang. Kalau ada kesempatan aku akan<br />
mengunjungi kalian di Goa Cadasbiru.”<br />
Dua gadis tampak bimbang. Setan Ngompol kedipkan<br />
mata memberi tanda. Tanpa bicara apa-apa lagi, Liris<br />
Merah dan Liris Biru kemudian tinggalkan tempat itu.<br />
“Luar biasa! Apa hubunganmu dengan dua gadis itu?<br />
Sampai keduanya mematuhi ucapanmu?” Sinto Gendeng<br />
bertanya lalu tertawa perlahan.<br />
“Sinto, lupakan mereka. Lupakan semua hal yang lain.<br />
Kita sama-sama dalam keadaan terluka. Kau lebih parah.<br />
Kita harus dapatkan pengobatan.”<br />
“Kita?” ucap Sinto Gendeng. “Setan Ngompol, setelah<br />
kau mengkhianati diriku, antara kita tidak ada lagi ikatan<br />
tali persahabatan. Pergilah sebelum aku sembur mukamu<br />
dengan ludah susur!”<br />
Setan Ngompol pancarkan air kencing. Tentu saja tidak<br />
mengira Sinto Gendeng akan bicara seperti itu. Lama dia<br />
menatap wajah si nenek. Ingin menyelidik apakah si nenek<br />
sungguh-sungguh atau hanya berseloroh dengan<br />
ucapannya tadi. Dari air muka yang tinggal kulit hitam<br />
pembalut tulang itu Setan Ngompol melihat kalau Sinto<br />
Gendeng tidak bergurau. Apa yang diucapkannya tadi<br />
keluar dari otak dan hati.<br />
Setan Ngompol usap-usap bagian bawah perutnya.<br />
Kalau orang tak mau lagi bersahabat, apa yang akan<br />
dilakukannya? Setelah merenung sejurus akhirnya si kakek<br />
bergerak pergi. Pada langkah ke tujuh Setan Ngompol<br />
berhenti lalu berpaling pada si nenek.<br />
“Sinto, jika kau membuang satu persatu orang-orang<br />
yang selama ini dekat dan bersahabat denganmu, di harihari<br />
terakhirmu dalam kehidupan ini kau akan merasa<br />
kesepian. <strong>Sang</strong>at kesepian. Perasaan itu lebih perih dari<br />
sayatan pisau di lubuk hatimu, akan lebih menyesakkan<br />
dari tindihan batu gunung di atas dadamu.”<br />
Sinto Gendeng terdiam lalu lambaikan tangan,