bahan ajar budaya nusantara ii - Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
bahan ajar budaya nusantara ii - Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
bahan ajar budaya nusantara ii - Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
mencegah tindakan yang bersifat gangguan terhadap hak milik, serta<br />
ancaman terhadap keamanan seseorang warga masyarakat.<br />
4) Wari, adalah unsur panngaderreng yang berfungsi mengklasifikasikan<br />
berbagai benda dan peristiwa dalam kehidupan manusia. Misalnya<br />
untuk memelihara tata susunan dan tata penempatan hal-hal dan<br />
benda-benda dalam kehidupan masyarakat, jalur dan garis keturunan<br />
yang mewujudkan pelapisan sosial, hubungan kekerabatan antara<br />
raja suatu negara dengan raja-raja dari negara lain, sehingga dapat<br />
ditentukan mana yang tua dan mana yang muda di dalam tata<br />
upacara kebesaran.<br />
5) Sara, adalah unsur panngaderreng yang mengandung pranata<br />
hukum, dalam hal ini ialah hukum Islam.<br />
2. Kultur Haji<br />
Gelar haji yang diperoleh sesudah menunaikan ibadah haji dianggap sebagai<br />
prestise yang menunjukkan status sosial. Dalam pernikahan faktor kehajian<br />
kerap menjadi penentu uang panaik atau dui’menre’ (uang mahar) bagi mempelai<br />
wanita. Calon pengantin wanita yang sudah bergelar hajjah uang maharnya akan<br />
jauh lebih tinggi dibanding dengan yang belum hajjah. Besarnya perbedan uang<br />
mahar kadang dihitung berdasar tarif resmi ONH. Sebaliknya, adalah suatu<br />
kebanggaan buat mempelai wanita apabila calon pengantin laki-laki sudah<br />
bergelar haji, dengan demikian bisa menjadi nilai tambah dalam menerima atau<br />
menolak sebuah lamaran. Akan berat perjuangan seorang laki-laki yang belum<br />
haji yang hendak meminang seorang hajjah, kecuali laki-laki itu<br />
mengkompensasikan dengan uang mahar yang tidak sedikit.<br />
Selepas berhaji ada semacam ritual wisuda yang dinamakan mappatoppo’<br />
haji, dengan penyematan songkok atau kopiah haji dan gamis panjang berwarna<br />
putih yang dilakukan oleh seorang syeikh atau ulama yang disegani. Di jaman<br />
dahulu, orang Bugis-Makassar yang belum menunaikan ibadah haji akan malu<br />
dan segan menggunakan songkok putih karena masyarakat tahu dan akan<br />
mencibir. Orang ini akan dikatakan sebagai haji palsu, atau diolok-olok sebagai<br />
haji taalltu’ (bahasa Bugis). Sebaliknya, orang yang sudah pernah naik haji<br />
terkadang tidak mau melepaskan songkok putihnya lagi apabila bersosialisasi<br />
dengan masyarakat di sekitarnya, agar supaya identitas kehajiannya tetap<br />
115 | P a g e