11.01.2013 Views

Menjadi Environmentalis Itu Gampang - Evolusi Alam

Menjadi Environmentalis Itu Gampang - Evolusi Alam

Menjadi Environmentalis Itu Gampang - Evolusi Alam

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Negaranegara<br />

utara<br />

melipatgandakan<br />

kekayaan<br />

dengan<br />

”menyedot”<br />

sumberdaya<br />

negara-negara<br />

berkembangan<br />

(selatan).<br />

Beragam cara<br />

digunakan<br />

negara Utara<br />

untuk<br />

akselerasi<br />

akumulasi<br />

kapitalnya.<br />

banjir. Akibat dari intensitas dan luasan bencana<br />

yang terus bertambah sembilan bulan<br />

dalam setahun Indonesia menghabiskan<br />

sumberdaya-nya hanya untuk mengurus bencana<br />

(www.walhi.or.id)!<br />

JAWABAN ATAS KRISIS<br />

Tabiat pengurus negara untuk memperdagangkan<br />

kekayaan bumi Indonesia secara<br />

cepat, murah, marak, dan mudah justru semakin<br />

diperteguh dari tahun ke tahun. Ditahun<br />

2007, pemerintah dan parlemen kembali<br />

membuat beberapa peraturan perundangan<br />

yang semakin menjebak Indonesia dalam<br />

relasi yang tidak adil secara global itu. Salah<br />

satunya adalah Undang-undang No.25 Tahun<br />

2007 tentang Penanaman Modal<br />

(UUPM). Undang-undang ini memberikan<br />

berbagai keleluasaan dan keistimewaan<br />

kepada pemodal (private sector) untuk<br />

memperoleh manfaat dari bumi Indonesia;<br />

diantaranya Hak Guna Usaha (HGU) yang<br />

mencapai 95 tahun, keringanan berbagai<br />

bentuk pajak, hingga terbebas dari ancaman<br />

nasionalisasi.<br />

Belum selesai dengan pro-kontra<br />

UUPM, masyarakat Indonesia kembali di kejutkan<br />

dengan lahirnya Undang-undang<br />

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau<br />

Kecil (UUPWP-PPK), yang disahkan pada<br />

tanggal 26 Juni 2007 lalu. Tidak jauh berbeda<br />

dengan UUPM, UUPWP-PPK-pun menjadi<br />

landas kebijakan untuk memprivatisasi<br />

wilayah perairan, pesisir (termasuk kolom air)<br />

dan pulau-pulau kecil, melalui Hak Pengusa-<br />

MENJADI ENVIROMENTALIS ITU GAMPANG! 12<br />

haan Perairan Pesisir (HP-3). Dalam catatan<br />

panjang sejarah Indonesia, ini merupakan<br />

kali pertama negara memberikan landasan<br />

hukum atas pengusahaan wilayah perairan,<br />

pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan masa<br />

penguasaan selama 20 tahun dan dapat<br />

diperpanjang untuk 20 tahun berikutnya.<br />

Demikian juga terjadi pada sektor<br />

perkebunan. Perluasan perkebunan sawit<br />

sudah jauh dari kebutuhan domestik akan<br />

sawit. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh<br />

luasan lahan yang cocok dan berpotensi<br />

untuk ditanami sawit, namun juga oleh<br />

kebijakan yang telah disiapkan oleh pemerintah,<br />

diantaranya program kredit khusus<br />

guna mendukung revitalisasi perkebunan<br />

dengan menjanjikan kredit modal usaha<br />

dengan bunga hanya 10% bagi para investor.<br />

Tidak hanya dari aspek permodalan,<br />

ber-dasarkan Peraturan Menteri Pertanian<br />

No.26 Tahun 2007, pengusaha perkebunan<br />

kelapa sawit kini diberi keleluasaan<br />

menguasai areal hingga 100.000 hektar di<br />

satu wilayah propinsi atau kabupaten. Sebelumnya,<br />

swasta hanya diperkenankan memiliki<br />

kebun seluas 20.000 hektar (SK Menteri<br />

Pertanian No.357 Tahun 2002).<br />

Teranyar, dalam isu perubahan iklim,<br />

kegentingan ekosistem hutan Indonesia, tidak<br />

dijawab dengan kebijakan jeda tebang (moratorium<br />

logging). Pemerintah Indonesia justru<br />

mempercayakan pengelolaan hutan Indonesia<br />

pada mekanisme pasar global melalui<br />

proposal REDD-I (Reduce Emission from<br />

Deforestation and Degradation in Indonesia).<br />

Kekayaan alam Indonesia yang harusnya dapat<br />

dimanfaatkan secara arif demi kesejahteraan rakyatnya telah<br />

berubah menjadi kutukan. Kini Indonesia terancam bencana<br />

ekologis. Yaitu suatu bencana berupa akumulasi dari krisis<br />

ekologis akibat dari ketidak-adilan (un-justice) dan gagalnya<br />

sistem pengurusan alam yang telah menyebabkan kolapsnya<br />

pranata kehidupan rakyat.<br />

Proposal ini tidak saja telah menunjukkan<br />

lemahnya kualitas diplomasi Indonesia, namun<br />

dalam saat yang bersamaan terkesan<br />

telah menggadaikan kedaulatan rakyat Indonesia<br />

atas sumberdaya hutan, sekaligus menapikan<br />

kepentingan masyarakat yang tinggal<br />

disekitar hutan terhadap ekosistem hutan.<br />

Bahkan, inisiatif progresif dari masyarakat<br />

sipil yang berpegang dan percaya atas<br />

keberpihakan hukum di Indonesia, justru<br />

dicederai dengan berbagai keputusan yang<br />

KATA PENGANTAR 13

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!