11.01.2013 Views

Menjadi Environmentalis Itu Gampang - Evolusi Alam

Menjadi Environmentalis Itu Gampang - Evolusi Alam

Menjadi Environmentalis Itu Gampang - Evolusi Alam

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Aksi WALHI di pertemuan internasional<br />

UNFCC Bali Desember 2007<br />

Foto: Dok. WALHI<br />

KETIKA bertugas di Badan Perencanaan<br />

Pembangunan Nasional (BAP-<br />

PENAS) ikut menyusun Rencana Pem-<br />

bangunan Lima Tahun (REPELITA)<br />

Pertama 1968-1973, saya merasa betapa<br />

sulit memobilisasi dana untuk pembangunan.<br />

Indonesia sedang menghadapi krisis politik<br />

dan ekonomi yang berat. Di bidang politik,<br />

sedang berlangsung peralihan pimpinan dari<br />

Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto.<br />

Di bidang ekonomi sedang ditempuh<br />

rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi.<br />

Masyarakat sangat mengharapkan perubahan.<br />

Tetapi dana pembiayaan pembangunan<br />

tidak cukup. Laju inflasi yang tinggi<br />

telah menggerogoti sumber pembiayaan dalam<br />

negeri. Sedangkan sumber pembiayaan<br />

luar negeri terhambat oleh utang luar negeri<br />

yang dikemplang tempo hari. Investor dalam<br />

maupun luar negeri cenderung menanti sampai<br />

keadaan politik lebih terang dan tenang.<br />

Dalam kondisi seperti ini, peranan forum<br />

Inter-Governmental Group on Indonesia<br />

(IGGI) sebagai wadah kerjasama negara<br />

sahabat membantu pulihnya keadaan<br />

ekonomi Indonesia, menjadi penting. Pada<br />

1970-an Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)<br />

menuntut agar 0,7% Produk Domestik Bruto<br />

(PDB) tiap negara maju dialihkan ke negara<br />

berkembang untuk mengatasi ketimpangan<br />

pembangunan antara negara maju dengan<br />

negara berkembang.<br />

Bantuan dana pembangunan memang<br />

diberikan, namun tak sampai 0,7% PDB.<br />

Pokok masalahnya terletak pada syarat-syarat<br />

(conditionality) pinjaman yang dikenakan<br />

kepada negara berkembang, seperti dana<br />

pinjaman harus dibelanjakan di negara yang<br />

memberikannya (dikenal dengan “tied-aid”);<br />

perlunya konsultan asing menyusun studi<br />

kelayakan dan mengawasi pembangunan<br />

(pembiayaan diambil dari pinjaman);<br />

besarnya suku bunga, masa tenggang tanpabayar<br />

dan jangka waktu pinjaman. Karena<br />

itu, fokus negosiasi terpusatkan pada ikhtiar<br />

memperkecil berbagai syarat-syarat ini demi<br />

keuntungan negara kita.<br />

Setiap perkembangan dunia yang bisa<br />

mengakibatkan munculnya syarat-kondisi<br />

baru dalam pembiayaan pembangunan pun,<br />

mau tidak mau, selalu ditanggapi secara<br />

hati-hati dan kritis. Dalam suasana begitulah<br />

Indonesia diundang menghadiri United Nations<br />

Conference on Human Environment di<br />

Stockholm, Swedia, Juni 1972.<br />

Saya memimpin delegasi Indonesia ke<br />

konferensi ini. Dan, saya berangkat dengan<br />

pertanyaan mengenai apa dan mengapa<br />

“lingkungan hidup” itu dimunculkan. Akankah<br />

konsep ini berkembang menjadi semacam<br />

syarat kondisi pembangunan baru?<br />

Ada dua hal yang menarik perhatian<br />

saya selama Konferensi Stockholm itu, yaitu:<br />

Pertama, timbul semacam pelangi pendapat<br />

mengenai substansi permasalahan<br />

lingkungan hidup. Semua negara maju mendukung<br />

usaha institusi internasional dalam<br />

lingkungan PBB untuk menanggulangi masalah<br />

lingkungan secara global. Sebaliknya,<br />

Brasil memelopori negara-negara berkem-<br />

MEROMBAK PARADIGMA PEMBANGUNAN 21

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!