Menjadi Environmentalis Itu Gampang - Evolusi Alam
Menjadi Environmentalis Itu Gampang - Evolusi Alam
Menjadi Environmentalis Itu Gampang - Evolusi Alam
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
adalah masing-masing kita tidak bisa me-nentukan nasib kita sendiri dan pilihan hidup<br />
kita sendiri.<br />
Indonesia ibarat seekor ikan di kolam besar yang keruh, yang makin hari makin<br />
kehilangan kendali terhadap hidupnya sen-diri. Secara kolektif masyarakat Indonesia makin<br />
miskin. Utang publik membengkak, sumber daya ekonomi menyusut, ketergan-tungan<br />
makin besar terhadap dunia luar dan kerusakan habitat makin parah.<br />
Saatnya untuk mengakui<br />
”Zamrud Khatulistiwa No More!”<br />
Bukan untuk bersikap pesimistis,<br />
namun untuk bersikap realistis<br />
dan merangsang renungan<br />
tentang apa yang sebenarnya<br />
salah dari semua ini. Dengan<br />
model pembangunan baik fisik,<br />
ekonomi maupun sosial seperti<br />
sekarang, Indonesia sedang<br />
melaju ke kiamat kecilnya sendiri.<br />
Model pembangunan yang ada<br />
sekarang tidak sustainable, tidak<br />
berkelanjutan dan akan berakhir<br />
pada malapetaka baik sosial,<br />
ekonomi maupun ekologis.<br />
MENJADI ENVIROMENTALIS ITU GAMPANG! 282<br />
Pidato yang Abadi<br />
Seorang ketua suku Indian Suquamish di<br />
Amerika pada 1848 mengucapkan sebuah<br />
pidato yang relevan kita dengar, justru<br />
sekarang-sekarang ini.<br />
“Bagaimana kami bisa membeli dan menjual<br />
langit, serta hangatnya tanah? Gagasan seperti<br />
itu asing bagi kami.”<br />
“Jika kami tak punya segarnya udara dan<br />
gemericiknya air, bagaimana kami bisa<br />
membelinya?”<br />
“Setiap bagian dari bumi adalah sakral bagi<br />
kami. Setiap kilau pucuk pohon pinus, setiap<br />
pantai berpasir, setiap embun di pepohonan,<br />
setiap dengung serangga adalah suci dalam<br />
ingatan dan pengalaman rakyat kami. Cairan<br />
yang mengalir dalam setiap pohon membawa<br />
ingatan orang-orang kami.”<br />
“Inilah yang kami tahu: bumi bukan milik<br />
manusia; manusialah milik bumi. Inilah yang<br />
kami pahami. Semua hal berhubungan seperti<br />
darah yang menyatukan sebuah keluarga.<br />
Semua hal berhubungan.”<br />
Pidato satu setengah abad lalu itu kini<br />
menemukan gemanya dalam demonstrasi para<br />
aktivis penentang globalisasi korporat: “Bumi<br />
bukan milik manusia”, ”Bumi tidak dijual”, ”Air<br />
tidak dijual”.