JURNALILMU HUKUM71Seiring dengan keluarnya putusan tersebut, berbagai macam perbedaan pendapatmenyeruak kepermukaan di tengah-tengah publik. Ada yang mendukung, namun tidaksedikit pula yang menentangnya. Bagi mereka yang kontra, sebagian besar berasal darikaum perempuan, LSM perempuan dan para pegiat isu gender. Menurut mereka putusanMK ini dianggap telah menafikan ketentuan affirmative action sebagaimana diatur dalamUU Pemilu. Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan “Di dalam daftar bakalcalon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapatsekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”. Oleh karenanya beberapacalon legislatif (caleg) yang berada di nomor urut kecil – caleg perempuan utamanya –merasa dirugikan atas putusan ini. Seperti diketahui, sebagai upaya untuk menciptakankesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan di Indonesia dalam segala aspekkehidupan khususnya di bidang politik, DPR bersama Pemerintah telah mengambilkebijakan affirmasi yang kemudian dituangkan dalam Pasal 53 dan 55 ayat (2) UU Pemiluserta dipertegas lagi dalam Pasal 214 huruf e, yang menyatakan “Dalam hal tidak adacalon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP,maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut”.Di satu sisi Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 yang menganulir pasal 214 menjadisemacam cambuk bagi para elit parpol untuk benar-benar memberian porsi lebih besarbagi kompetisi yang sehat, keadilan politik dan demokrasi. Sebagai warga negara yangtaat <strong>hukum</strong>, putusan MK itu niscaya ditaati dan dipraktikkan oleh semua parpol sebagaipeserta Pemilu. Pada saat bersamaan, suara terbanyak sekaligus member lahan suburbagi tumbuhnya demokrasi di negeri ini. Terdapat beberapa implikasi konstruktif yangdapat dirasakan: 4Pertama, tergusurnya oligarki elit parpol. Faktor nomor urut dianggap menyimpansemangat oligarkhi elit parpol, dengan besarnya kekuasan elit parpol dalam menentukannomor urut calon. Kolusi dan nepotisme kerap terjadi. Karena kedekatan antara calondengan pimpinan parpol, maka ia akan mendapatkan ‘nomor dasi’. Sebaliknya yangdisinyalir berseberangan, meski punya integritas lebih baik akan mendapat ‘nomor sepatu’.Dengan demikian, suara terbanyak tak lagi ditentukan oleh segelintir elit paprol, melainkanoleh rakyat.Kedua, rakyat memilih langsung, parpol tidak dapat menghalangi pilihan rakyat.konsekwensi dari sistem proporsional adalah keniscayaan suara mayoritas, atau biasadisebut majoritarian democracy. Rakyat mempunyai kedaulatan untuk menentukan aspekmayoritas tersebut dengan pelbagai preverensinya. Kedaulatan rakyat adalah kedaulatanmayoritas yang sekaligus menghilangkan potensi tirani minoritas elit. Karena itu, demokrasidari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, substansinya merupakan hasil dari pilihanpilihanmereka mereka dalam skala mayoritas.Ketiga, mendekatkan caleg dengan konstituen. Para caleg akan berlomba dan bekerjakeras memperoleh dukungan dari rakyat pemilih agar mendapat suara terbanyak.Intensitas pendekatan niscaya dilakukan agar mereka percaya dengan figure sang caleg.Rakyat kini semakin cerdas. Mereka tentu akan memilih caleg yang dirasa lebih dekatdan dikenal sekaligus dinilai cakap menangani masalah kemasyarakatan. Karena rakyatlah4Ali Masykur Musa, Op.Cit.
JUNAIDIVOLUME2 No. 1 Agustus 201172yang secara langsung menjadi ornament demokrasi, maka nomenklatur itu menuntutpelibatan rakyat lebih besar dalam penentuan calon terpilih. Demokrasi yang masihmengacu pada ‘nomor urut’ sesungguhnya masih belum sepenuhnya merepresentasikedekatan kehendak rakyat dalam memilih wakilnya di parlemen.Keempat, menghilangkan praktek jual beli kursi (nomor jadi). Praktek menjelangpemilu, tak sedikit orang membeli ‘nomor dasi’ agar mereka dijamin berkantor di senayan.Penerapan suara terbanyak mengakibatkan tak berfungsinya nomor urut, sehingga jualbelinomor jadi tak akan terjadi.Pada akhirnya, putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 adalah hasil optimum daricapaian pembenahan sistem kepartaian dalam sistem pemilu. Ia mendedahkanberakhirnya oligarki elit parpol yang selama puluhan tahun bercokol di urat nadi sistempolitik kita. Oligarki runtuh, demokrasi pun kukuh. Kini tinggal bagaimana pihak-pihakterkait, baik KPU maupun parpol, mengimplementasi sistem ini di lapangan.E. Peran Partai Politik Pasca Keluarnya Putusan MK No: 22-24/PUU-VI/2008MK telah mengabulkan permohonan uji materi UU 10 Tahun 2008 tentang pemilihanumum pasal 214 huruf a, b, c, d, e mengenai sistem nomor urut, dengan demikian penentuancalon legislatif harus mengacu pada putusan MK dengan menggunakan suara terbanyak.Para caleg yang tidak tidak berada di nomor urut satu sangat setuju dengan keputusanMK yang memberi kesempatan kepada mereka untuk menunjukkan dirinya bahwamereka walau tidak di urutan pertama tetapi dapat meraup suara terbanyak. Tentu sajakeputusan ini memberi konsekwensi yang sangat luas.Pertama, setelah diputuskan, para partai yang memperdagangkan nomor urut,memperdagangkan kursi parlemen akan mengalami konflik intern. Pasti itu. Mereka yangtelah membayar untuk mendapatkan urut satu, paling tidak akan melakukan protes secaraintern. Dari sinilaha konflik akan terjadi. Bagaimana sikap partai. Tentu beragam. Adayang menerima dengan tasyakuran. Ada yang menerima dengan catatan. Dan ada yangmenolak tetapi tidak protes karena putusan MK.Kedua, mudah-mudahan terungkap kebobrokkan di tubuh parpol yang di dalamnyaada suap menyuap intern pengurus parpol terkait penentuan nomor urut kursi pencalegan,Ketiga, Pertemanan dalam penentuan nomor urut kursi pencalegan telah dihapusoleh MK. Biar saja yang bekerja yang akan menikmati menjadi anggota parlemen. Jikanomor urut, maka ada yang tidak bekerja tetapi mendapatkan berkah suara karenapertemanan tersebut.Keempat, Sisi keadilan. Terwujudnya keadilan. Kelima, Tidak mengkhianati suararakyat. Nomor urut itu mengkhianati suara rakyat. Dengan dihapusnya nomor urut, makasuara rakyat akan tetap sesuai dengan hati nurani rakyat siapa yang menjadi pilihannya.Keenam, ada upaya bekerja dan bersaing secara ketat masing-masing caleg. Makaantara intern caleg bisa bentrok. Bisa saja tidak rukun. Saling jegal. Saling fitnah. Inilahresiko politik dengan ketetapan MK tersebut.Dalam putusannya MK menilai, pasal tersebut hanya menguntungkan para caleg yangberada di nomor urut jadi yakni 1, 2, dan 3. Sedangkan, caleg yang berada di nomor urut
- Page 2 and 3:
JURNALILMU HUKUMIJurnalILMUHUKUMJUR
- Page 4 and 5:
JURNALILMU HUKUMIIIPENGANTAR REDAKS
- Page 6 and 7:
JURNALILMU HUKUM1KEDUDUKAN IZIN LIN
- Page 8 and 9:
JURNALILMU HUKUM3Berdasarkan hal di
- Page 10 and 11:
JURNALILMU HUKUM5lingkungan diatur
- Page 12 and 13:
JURNALILMU HUKUM7Pola perizinan di
- Page 14 and 15:
JURNALILMU HUKUM9F. Daftar PustakaB
- Page 16 and 17:
JURNALILMU HUKUM11dan pembangunan y
- Page 18 and 19:
JURNALILMU HUKUM13disebut dengan Pe
- Page 20 and 21:
JURNALILMU HUKUM15undang ini maka s
- Page 22 and 23:
JURNALILMU HUKUM17Dalam Undang-Unda
- Page 24 and 25:
JURNALILMU HUKUM19bertanggung jawab
- Page 26 and 27: JURNALILMU HUKUM21Handajaningrat, S
- Page 28 and 29: JURNALILMU HUKUM23menambah beban po
- Page 30 and 31: JURNALILMU HUKUM25yang sangat besar
- Page 32 and 33: JURNALILMU HUKUM27Terkait kebijakan
- Page 34 and 35: JURNALILMU HUKUM29MakalahAbdul Bari
- Page 36 and 37: JURNALILMU HUKUM31pemerintahan naga
- Page 38 and 39: JURNALILMU HUKUM33Tabel. 1Nagari da
- Page 40 and 41: JURNALILMU HUKUM354. Hilangnya jaba
- Page 42 and 43: JURNALILMU HUKUM37Kepala DesaKepala
- Page 44 and 45: JURNALILMU HUKUM39i. Tanah, hutan,
- Page 46 and 47: JURNALILMU HUKUM41PERKEMBANGAN KELE
- Page 48 and 49: JURNALILMU HUKUM43adanya, dapat dis
- Page 50 and 51: JURNALILMU HUKUM45Versi keempat, te
- Page 52 and 53: JURNALILMU HUKUM47Kijang bertemu ki
- Page 54 and 55: JURNALILMU HUKUM49Dalam buku Sejara
- Page 56 and 57: JURNALILMU HUKUM51Setelah ditetapka
- Page 58 and 59: JURNALILMU HUKUM53hubungan darat an
- Page 60 and 61: JURNALILMU HUKUM55Kewedanaan Muara
- Page 62 and 63: JURNALILMU HUKUM57menggunakan kapal
- Page 64 and 65: JURNALILMU HUKUM59ternyata Kabupate
- Page 66 and 67: JURNALILMU HUKUM61PERGESERAN PERAN
- Page 68 and 69: JURNALILMU HUKUM63sesuai dengan cit
- Page 71 and 72: JUNAIDIVOLUME2 No. 1 Agustus 201166
- Page 73 and 74: JUNAIDIVOLUME2 No. 1 Agustus 201168
- Page 75: JUNAIDIVOLUME2 No. 1 Agustus 201170
- Page 79 and 80: JUNAIDIVOLUME2 No. 1 Agustus 201174
- Page 81 and 82: MEXSASAI INDRAVOLUME2 No. 1 Agustus
- Page 83 and 84: MEXSASAI INDRAVOLUME2 No. 1 Agustus
- Page 85 and 86: MEXSASAI INDRAVOLUME2 No. 1 Agustus
- Page 87 and 88: MEXSASAI INDRAVOLUME2 No. 1 Agustus
- Page 89 and 90: VOLUME2 No. 1 Agustus 201184IMPLEME
- Page 91 and 92: ROMIVOLUME2 No. 1 Agustus 201186Sel
- Page 93 and 94: ROMIVOLUME2 No. 1 Agustus 201188ren
- Page 95 and 96: ROMIVOLUME2 No. 1 Agustus 201190Ist
- Page 97 and 98: ROMIVOLUME2 No. 1 Agustus 201192yan
- Page 99 and 100: ROMIVOLUME2 No. 1 Agustus 201194dal
- Page 101 and 102: VOLUME2 No. 1 Agustus 201196PERBAIK
- Page 103 and 104: AZMI FENDRIVOLUME2 No. 1 Agustus 20
- Page 105 and 106: AZMI FENDRIVOLUME 1002 No. 1 Agustu
- Page 107 and 108: AZMI FENDRIVOLUME 1022 No. 1 Agustu
- Page 109 and 110: AZMI FENDRIVOLUME 1042 No. 1 Agustu
- Page 111 and 112: AZMI FENDRIVOLUME 1062 No. 1 Agustu
- Page 113 and 114: VOLUME 1082 No. 1 Agustus 2011KONTR
- Page 115 and 116: FRENADIN ADEGUSTARA, DKKVOLUME 1102
- Page 117 and 118: FRENADIN ADEGUSTARA, DKKVOLUME 1122
- Page 119 and 120: FRENADIN ADEGUSTARA, DKKVOLUME 1142
- Page 121 and 122: FRENADIN ADEGUSTARA, DKKVOLUME 1162
- Page 123 and 124: FRENADIN ADEGUSTARA, DKKVOLUME 1182
- Page 125 and 126: FRENADIN ADEGUSTARA, DKKVOLUME 1202
- Page 127 and 128:
FRENADIN ADEGUSTARA, DKKVOLUME 1222
- Page 129 and 130:
VOLUME 1242 No. 1 Agustus 20115. Er
- Page 131:
VOLUME 1262 No. 1 Agustus 20116. Na