11.07.2015 Views

ilmu hukum - perpustakaan universitas riau

ilmu hukum - perpustakaan universitas riau

ilmu hukum - perpustakaan universitas riau

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

JURNALILMU HUKUM75GAGASAN PENYEDERHANAAN JUMLAH PARTAI POLITIKDIHUBUNGKAN DENGAN SISTEM PEMERINTAHANREPUBLIK INDONESIAMEXSASAI INDRAJalan Karya I No. 30 PekanbaruAbstrakReformasi politik 1998 yang kemudian diikutipemilu bebas dan demokratis pada tahun 1999,telah mengubah secara cukup mendasar pola relasiPresiden dan DPR yang ditandai banyaknya partaipolitik yang berperan dalam struktur ketatanegaraan.Karena itu lah muncul kembali gagasanpenyederhanaan partai politik. Upaya penyederhanaanjumlah partai politik merupakan suatukeniscayaan dalam rangka mendukung sistempemerintahan presidensial yang efektif, adapunupaya yang dapat dilakukan yakni melalui penyederhanaanjumlah partai politik secara alamiahmelalui electoral threshold, pengetatan terhadapsyarat-syarat pendirian partai politik dismapingitu juga dengan realitas yang ada saat ini perluadanya pengaturan yang jelas tentang sistem koalisi.AbstractPolitical reforms in 1998 which was followed by afree and democratic elections in 1999, has a fairly fundamentalchange relationship patterns that characterizedthe President and the Parliament many politicalparties that play a role in the constitutional structure.Because it came back the idea of simplificationis a political party. efforts to simplify the number ofpolitical parties is a must in order to support an effectivepresidential system of government, while the effortto do that is by simplifying the number of politicalparties naturally through the electoral threshold,tighten the terms of the establishment of political partiesdismaping it is also the reality that there is currentlya clear need for regulation of the coalition system.Kata kunci: Electoral tresdhold, partai politik.A. PendahuluanReformasi politik 1998 yang kemudian diikuti pemilu bebas dan demokratis padatahun 1999, telah mengubah secara cukup mendasar pola relasi Presiden dan DPR. Apabilaselama rejim otoriter Orde Baru (1966-1998) relasi lembaga eksekutif dan legislatiftersebut cendrung “sarat eksekutif” (executive-heavy) dan bahkan didominasi olehPresiden, maka sejak pemerintahan hasil Pemilu 1999 bekerja pola relasi kedua lembagatersebut berubah menjadi “sarat legislatif” (legislative heavy) ketimbang sebelumnya.Presiden pertama dalam sejarah yang dipilih secara demokratis oleh MPR, AbdurrahmanWahid, bahkan menjadi korban dari situasi legislative-heavy yang menghasilkan“perlawanan” DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden. Seperti diketahui, PresidenWahid akhirnya mengalami pemakzulan (impeachment) oleh MPR di tengah masa bhaktipemerintahannya pada tahun 2011. 1Salah satu kelemahan yang terjadi pada saat era Presiden Abdurrahman Wahid inimenurut Mirza Nasution 2 ketika menyusun Kabinet Persatuan memperhatikan suarapartai lain. Posisi presiden sangat lemah tanpa memperhatikan kekuatan politik yangdominan di DPR. Ikut sertanya partai politik yang berkoalisi dalam membentuk kabinet1Lihat Syamsuddin Haris, Dilema Presidensialisme di Indonesia Pasca-Orde Baru dan Urgensi PenataanKembali Relasi Presiden-DPR, dalam Gagasan Amandemen UUD 1945: Suatu Rekomendasi, Penerbit KomisiHukum Nasional (KHN), 2008, hlm. 147.2Lihat Mirza Nasution, Mempertegas Sistem Presidensial, dalam Gagasan Amandemen UUD 1945: SuatuRekomendasi, Penerbit Komisi Hukum Nasional (KHN), 2008, hlm. 211.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!