26.08.2016 Views

Daftar Isi

HAM%20DI%20PAPUA%202015_EPUB

HAM%20DI%20PAPUA%202015_EPUB

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

perdamaian (peacemaking) sebagai tindakan<br />

untuk mendamaikan kedua pihak yang bertikai,<br />

pemeliharaan perdamaian (peacekeeping) sebagai<br />

penugasan pasukan perdamaian PBB di<br />

lapangan, dan pembangunan perdamaian<br />

(peacebuilding) pasca -konflik sebagai “pembangunan<br />

sebuah lingkungan baru.” Dalam<br />

kerangka ini, pembangunan perdamaian<br />

dipahami sebagai tahap lanjutan yang berlangsung<br />

setelah konflik dapat diatasi. Hal ini<br />

tidak akan dibahas lebih lanjut. Akan tetapi,<br />

bab ini akan membahas mengenai dinamika<br />

hubungan antara para aktor yang memiliki peran<br />

dan pengaruh penting dalam menciptakan<br />

jaringan sosial dan politik di Papua.<br />

Oleh karena itu, tekanan diberikan pada ‘jaringan’<br />

dan ‘dinamika’, bukan pada struktur atau institusi<br />

seperti yang umum ditemukan dalam analisis<br />

politik Papua. Alasannya adalah bahwa analisis<br />

jaringan dan dinamika dapat menangkap<br />

ketidakstabilan aktor dan hubungan mereka,<br />

serta cara-cara mereka menggunakan kekuasaan.<br />

a. Tingkat lokal: isu pendatang yang<br />

terabaikan<br />

Jaringan Damai Papua (JDP) tetap berperan<br />

penting dalam membangun dialog sebagai<br />

bagian dari imple mentasi konsep luas ‘Papua:<br />

Tanah Damai’. Sekretariat JDP terus aktif<br />

dalam mendorong dialog antara Papua dan<br />

pemerintah pusat. Dengan meminjam metode<br />

pembangunan perdamaian Lederach yang<br />

melakukan pendekatan bottom-up, middle-out<br />

dan top-down, selama beberapa tahun terakhir<br />

JDP telah berkonsentrasi pada tingkat atas dan<br />

bawah. Upaya untuk mengadakan dialog di<br />

antara masyarakat pendatang membuahkan<br />

konsultasi dengan masyarakat non-Papua pada<br />

tanggal 21-22 Januari 2012 yang diadakan oleh<br />

Aliansi Demokrasi untuk Papua (lihat Siregar,<br />

Mustafa, Conoras & Silpa, 2013).<br />

Konsultasi tersebut membahas 24 isu utama<br />

yang sangat penting namun diabaikan dalam<br />

analisis politik Papua yang sudah ada. Namun,<br />

dikarenakan keterbatasan ruang, laporan ini hanya<br />

dapat menyoroti beberapa elemen, khususnya<br />

istilah pendatang (merujuk pada warga non-<br />

Papua). Masyarakat pendatang percaya bahwa<br />

istilah ‘pendatang’ memiliki konotasi negatif<br />

karena menyebabkan perbedaan antara warga<br />

Papua asli dan non-Papua. Terlebih lagi, istilah<br />

tersebut menumbuhkan kebencian dan kesan<br />

dominasi pendatang terhadap warga Papua,<br />

terutama di bidang ekonomi dan bisnis lokal.<br />

Sayangnya, tidak ada pilihan kata lain untuk<br />

mencakup warga Papua dan non-Papua tanpa<br />

menekankan oposisi biner keduanya.<br />

Elemen ini telah berkontribusi pada ketimpangan<br />

yang semakin melebar antara penduduk asli<br />

dan pendatang di Papua dalam interaksi harian<br />

mereka. Walaupun ketimpangan tersebut<br />

belum mencapai segregasi yang nyata, seperti<br />

dalam situasi pasca konflik Maluku, ketegangan<br />

di antara kedua kelompok tersebut dapat<br />

memuncak dan menjadi situasi yang serius.<br />

Sayangnya, kenyataan ini seringkali luput<br />

dari perhatian para aktor utama di Papua,<br />

termasuk pemerintah daerah dan pusat,<br />

tokoh agama dan organisasi masyarakat sipil.<br />

Perwakilan masyarakat pendatang mengakui<br />

bahwa mereka merasa terperangkap di antara<br />

stigma orang luar oleh masyarakat asli Papua<br />

dan fakta bahwa pemerintah mengabaikan<br />

perjuangan masyarakat Papua untuk diakui<br />

sebagai masyarakat etnis yang sah dan hanya<br />

memanfaatkan mereka untuk kepentingan<br />

pemilu (Siregar, dkk., 2013: 27)<br />

Meskipun JDP telah mengupayakan dialog antar<br />

kelompok suku, politik dan ideologi di Papua,<br />

upaya tersebut tetap tidak mampu menghasilkan<br />

gerakan massa yang mendapat dukungan luas.<br />

Berbagai organisasi berpengaruh di luar JDP<br />

seperti tokoh gereja Papua, LSM HAM, organisasi<br />

wanita Papua dan pergerakan mahasiswa tidak<br />

terlibat secara langsung dalam aktivitas JDP,<br />

walaupun organisasi-organisasi tersebut terus<br />

mendukung upaya dialog. Kenyataan ini mungkin<br />

terkait dengan fakta bahwa aktivitas lobi JDP lebih<br />

terfokus di Jakarta, bukannya di Papua.<br />

99<br />

Hak Transformasi Sipil dan Konflik Politik

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!