Daftar Isi
HAM%20DI%20PAPUA%202015_EPUB
HAM%20DI%20PAPUA%202015_EPUB
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
6.2 Acara Pidana dan Penegakan Hukum<br />
Pengalaman selama pendampingan hukum di berbagai daerah di Papua, seperti<br />
Sorong, Biak, dan Jayapura, dari April 2013 hingga Desember 2014, menunjukkan<br />
bahwa masih ada pelanggaran Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)<br />
yang melindungi hak-hak hukum tersangka, keluarga dan pengacara selama proses<br />
penegakan hukum. Pelanggaran ini berkaitan erat dengan sejarah politik Papua<br />
dan pembangunan di Papua yang disalahgunakan oleh pemerintah dan pasukan<br />
keamanan untuk memberikan citra negatif terhadap anggota masyarakat sipil dan<br />
aktivis HAM.<br />
Saat ini, ada tiga masalah utama:<br />
1. Pengekangan Kebebasan Berpendat<br />
Pengekangan kebebasan berpendapat yang<br />
dilakukan oleh pasukan keamanan dan<br />
pelarangan aksi protes damai biasanya disertai<br />
penangkapan yang tidak sah dan penuntutan<br />
hukum terhadap demonstran. Kasus-kasus<br />
tersebut biasanya disertai penggunaan kekerasan<br />
yang berlebihan saat penangkapan,<br />
seperti yang terjadi pada pendukung gerakan<br />
maha siswa GEMPAR yang melakukan aksi<br />
damai menuntut pembebasan tahanan<br />
politik pada tanggal 2 April 2013. Contoh lain<br />
adalah penggunaan kekerasan berlebihan saat<br />
membubarkan kelompok ibadah yang dipimpin<br />
oleh Isak Klaibin dan rekan-rekannya di Aimas<br />
pada tanggal 30 April 2013, yang menewaskan<br />
tiga warga sipil, tanpa adanya tindakan hukum<br />
yang diambil terhadap pelaku. Insiden serupa<br />
terjadi di Pulau Biak, ketika Oktavianus Warnares<br />
dan beberapa rekannya mengibarkan bendera<br />
Bintang Kejora di kantor Badan Pendidikan dan<br />
Pelatihan Pemerintahan setempat pada tanggal<br />
1 Mei 2013. Anggota militer yang melihat<br />
pengibaran bendera tersebut melakukan<br />
penembakan dan melukai dua pegawai negeri<br />
dan Yance Wamaer. Tindak kekerasan kembali<br />
terjadi pada tanggal 19 Oktober 2013, ketika<br />
warga berkumpul untuk memperingati Kongres<br />
Rakyat Papua III. Beberapa warga mengalami<br />
pemukulan.<br />
2. Penolakan Akses Pengacara<br />
Isu lain adalah penolakan akses pengacara bagi<br />
tahanan. Jika pengacara ingin memberikan<br />
bantuan hukum, terutama setelah penangkapan,<br />
petugas polisi dengan sengaja menghambat<br />
akses pengacara ke tahanan dengan berbagai<br />
macam alasan, seperti tahanan sedang<br />
diinterogasi, atasan yang berwenang sedang<br />
tidak ada di tempat atau melempar tanggung<br />
jawab kepada penyidik Kepala Unit Reserse<br />
Kriminal dan kepala kepolisian setempat.<br />
Kesulitan tersebut dialami oleh pengacara<br />
yang ingin memberikan bantuan hukum bagi<br />
beberapa aktivis KNPB, yang berpartisipasi dalam<br />
aksi damai pada tanggal 26 November 2013, dan<br />
akhirnya tidak dapat bertemu dengan pengacara.<br />
Insiden lain adalah aksi damai oleh gerakan<br />
mahasiswa GEMPAR, yang mengakibatkan<br />
penangkapan demonstran. Pengacara tidak<br />
diberi akses untuk menemui tahanan agar insiden<br />
penyiksaan tidak terbongkar. Penangkapan 12<br />
orang di Warambaim pada tanggal 10 Agustus<br />
2014 adalah insiden lainnya di mana pengacara<br />
dihalang-halangi untuk memberikan bantuan<br />
hukum bagi tahanan.<br />
Terlepas dari hal tersebut, kasus ini menunjukkan<br />
indikasi kriminalisasi terhadap aktivis mahasiswa,<br />
yang ingin menunjukkan kegagalan pemerintah<br />
dan situasi terkait HAM di Papua.<br />
121<br />
Institusi, Sistem Hukum, dan Hak Transformasi Sektor Sipil dan Keamanan Konflik Politik