Daftar Isi
HAM%20DI%20PAPUA%202015_EPUB
HAM%20DI%20PAPUA%202015_EPUB
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Penggundulan hutan<br />
Indonesia mengalahkan Brasil sebagai negara<br />
dengan penggundulan hutan terluas pada<br />
tahun 2012. Namun di berbagai wilayah, Indonesia<br />
mulai kehabisan hutan. Hutan-hutan di<br />
pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan sudah<br />
hampir habis, atau setidaknya telah dijual. Karena<br />
hutan yang tersisa dan hutan lindung berada di<br />
Papua, diperkirakan angka penggundulan hutan<br />
akan tinggi di masa mendatang. Mora torium<br />
terkait penggundulan hutan baru-baru ini telah<br />
diperpanjang, tapi tidak mampu melindungi hutan<br />
yang tersisa di Indonesia atau Papua. Pemerintah<br />
bukannya melindungi hutan, melainkan mengijin<br />
kan megaproyek seperti MIFEE yang akan<br />
mengancam alam, mata pencaharian dan<br />
keragaman hayati. Dengan pembangunan jalan<br />
raya di dataran tinggi, wilayah yang subur akan<br />
menjadi target perkebunan selanjutnya.<br />
Di wilayah Papua lainnya, penggundulan hutan<br />
sedang berlangsung, misalnya, program MIFEE<br />
masih berjalan. Walaupun MIFEE tidak berjalan<br />
92<br />
Izin perkebunan<br />
Jika sebuah perusahaan ingin mengoperasikan perkebunan sawit, perusahaan tersebut harus mendapatkan<br />
sejumlah izin di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional.<br />
Langkah pertama adalah melakukan pendekatan kepada pemerintah kabupaten dan meminta Izin<br />
Prinsip yang akan diubah menjadi Izin Lokasi setelah menemukan lokasi yang akan diajukan<br />
Perusahaan kemudian akan memerlukan Izin Lingkungan, termasuk Analisis Dampak Lingkungan<br />
(AMDAL) yang diberikan oleh pemerintah provinsi di Papua. Jika lahan tersebut adalah hutan milik<br />
negara, diperlukan izin untuk lahan yang akan dilepas dari kawasan hutan negara yang akan diberikan<br />
oleh Kementerian Kehutanan di tingkat nasional. Perusahaan kemudian akan menyerahkan sejumlah<br />
dokumen, termasuk izin lingkungan, agar memperoleh Izin Usaha Perkebunan yang diberikan oleh<br />
pemerintah kabupaten.<br />
Sebelum beroperasi, perusahaan harus menunjukkan bahwa ia telah memperoleh lahan tersebut dari<br />
pemegang hak tanah ulayat secara sah. Jika mereka telah melepaskan lahan dari kawasan hutan, maka<br />
mereka memenuhi syarat untuk meminta Hak Guna Usaha dari Badan Pertanahan Nasional, yakin sejenis<br />
hak properti yang berlaku selama 30-35 tahun.<br />
Pada praktiknya, sistem perizinan ini tidak transparan atau konsisten, merupakan hambatan besar bagi<br />
masyarakat adat untuk memperoleh informasi yang tidak memihak tentang perkebunan yang diajukan<br />
sebelum beroperasi. Terutama di tingkat lokal dan provinsi, akses informasi seringkali bergantung<br />
pada koneksi pribadi dengan seseorang di pemerintahan, dan pemerintah sering kali enggan untuk<br />
memberikan informasi tersebut. Pada kenyataannya, pertama kali masyarakat mendengar tentang<br />
proyek di tanah mereka adalah ketika juru runding perusahaan muncul, yang seringkali dikawal oleh<br />
polisi dan militer.<br />
Dalam pertemuan masyarakat yang terkena dampak perkebunan di seluruh Papua, yang diadakan<br />
pada November 2013, Donatus Mahuze dari Muting, Kabupaten Merauke, menjelaskan mengapa<br />
banyak masyarakat adat Papua tidak setuju dengan proses perizinan ini, yang tidak melibatkan mereka<br />
dalam keputusan mengenai tanah mereka sendiri. “Yang paling mengecewakan adalah cara perusahaan<br />
menggunakan dokumen, seperti Peraturan Menteri, Keputusan Gubernur dan Bupati atau Analisis<br />
Dampak Lingkungan, sebagai senjata untuk memfasilitasi proyek mereka dan merampas tanah rakyat.<br />
Masyarakat adat sama sekali tidak dilibatkan, mereka tidak tahu apa-apa dan tidak pernah diberi informasi<br />
mengenai isi dokumen yang merupakan dasar bagi perusahaan untuk melaksanakan aktivitasnya. Satusatunya<br />
hal yang diterima masyarakat adalah kompensasi yang dialokasikan perusahaan untuk tanah<br />
mereka. Kompensasi tersebut jumlahnya kecil dan sama sekali tidak memadai untuk luas lahan yang akan<br />
digunakan.”<br />
Hak Asasi Manusia di Papua 2015