Daftar Isi
HAM%20DI%20PAPUA%202015_EPUB
HAM%20DI%20PAPUA%202015_EPUB
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
102<br />
disaksikan oleh Kepala-kepala Adat Vanuatu,<br />
organisasi politik Papua besar seperti WPNCL,<br />
NFRPB dan Parlemen National Papua Barat<br />
menandatangani perjanjian pada tanggal 6<br />
Desember 2014 d Port Villa untuk membentuk<br />
organisasi yang disebut Persatuan Gerakan<br />
Pembebasan Papua Barat (United Liberation<br />
Movement for West Papua-ULMWP). Organisasi<br />
baru ini adalah perkembangan besar<br />
karena menolak anggapan bahwa organisasi-organisasi<br />
Papua tidak dapat<br />
bersatu. Pemimpin Papua tidak memilih<br />
ketua atau presiden baru, tetapi memilih<br />
sekretaris jenderal dan juru bicara untuk<br />
ULMWP. Ini adalah keputusan strategis untuk<br />
menghormati kewenangan tiga organisasi<br />
politik yang ada dan mencegah pembahasan<br />
tentang siapa yang harus menjadi pemimpin,<br />
yang mana telah menghambat kemajuan<br />
di masa lalu. Dengan memilih sekretaris<br />
jenderal dan juru bicara secara demokratis,<br />
ketiga organisasi tersebut hanya berurusan<br />
dengan perwakilan administratif, yang tidak<br />
menentang kewenangan tiga organisasi<br />
politik yang ada.<br />
Walaupun perlu waktu untuk menilai efektivitas<br />
organisasi baru ini, ULMWP tidak<br />
memiliki banyak waktu. Mereka harus bersiap-siap<br />
hadir di konferensi MSG untuk<br />
mendapatkan keanggotaan.<br />
Berkaca pada kemajuan pembangunan<br />
perdamaian di Papua, jelas bahwa hal tersebut<br />
memiliki arah yang berbeda dengan apa<br />
yang sebelumnya terjadi di Papua atau Aceh<br />
atau Timor Leste. Misalnya, isu pendatang<br />
dan peran forum sub regional tidak<br />
memiliki dampak signifikan terhadap situasi<br />
pembangunan perdamaian di Aceh dan<br />
Timor Leste. Para pembangun perdamaian<br />
yang tertarik dalam upaya pembangunan<br />
perdamaian di Papua harus memberikan<br />
perhatian pada dua hal tersebut.<br />
Ancaman ketimpangan yang semakin<br />
meluas antara warga Papua dan pendatang<br />
tidak boleh diremehkan. Mungkin, peran<br />
tokoh gereja Papua yang penting dalam<br />
mempromosikan ‘Papua: Tanah Damai’<br />
dapat dibangkitkan dan diperkuat untuk<br />
memfasilitasi dialog antara beragam<br />
kelompok etnis di Papua. Terlebih lagi, isu<br />
pendatang harus dibahas secara terbuka<br />
untuk mendorong semua sektor di masyarakat<br />
Papua berpartisipasi dalam mencari solusi<br />
yang dapat dilaksanakan. Belajar dari konflik<br />
etnis di Ambon dan Sambas, upaya ini harus<br />
dilakukan secara hati-hati.<br />
Bidang lain yang perlu diperhatikan adalah<br />
perkemb angan di tingkat MSG. Dari segi politik<br />
praktis dinamika forum subregional tidak<br />
begitu dipertimbangkan, perkembangan<br />
terbaru di MSG mencerminkan dinamika<br />
penting yang menuntut diadakannya dialog<br />
antara Papua dan pemerintah pusat. Dialog<br />
ini terjadi saat konferensi MSG, di mana<br />
perwakilan Papua dan delegasi Indonesia<br />
duduk bersama dengan kedudukan yang<br />
setara. Situasi ini akan terulang jika pimpinan<br />
MSG memutuskan untuk memberikan status<br />
keanggotaan ULMWP. Jika hal ini terjadi,<br />
mungkin akan ada dinamika yang berbeda<br />
di tingkat nasional, di mana pemerintah akan<br />
lebih terbuka untuk bernegosiasi dengan<br />
Papua.<br />
Namun, situasi nasional saat ini belum menunjukkan<br />
perkembangan yang signifikan. Baik<br />
JDP maupun LIPI telah berusaha sebaik<br />
mungkin untuk mendorong pemerintahan<br />
SBY agar terlibat dengan rakyat Papua<br />
selama dua periode pemerintahannya,<br />
tetapi tidak membuahkan hasil. Ini mungkin<br />
menunjukkan bahwa JDP dan LIPI harus<br />
mengkaji ulang strategi mereka dengan<br />
lebih memperhatikan tingkat ‘middle-out’,<br />
yakni tokoh gereja dan agama lainnya, dalam<br />
menghadapi isu pendatang yang semakin<br />
merebak.<br />
Hak Asasi Manusia di Papua 2015