Daftar Isi
HAM%20DI%20PAPUA%202015_EPUB
HAM%20DI%20PAPUA%202015_EPUB
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
118<br />
rakyat dari kelompok bersenjata, seperti Operasi<br />
Papua Merdeka (OPM), maka hal tersebut<br />
bukanlah solusi yang tepat. Pengerahan pasukan<br />
TNI untuk melindungi warga dari kelompok<br />
apartheid seperti yang dijelaskan dalam Pasal<br />
7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 juga<br />
tidak ditafsirkan dengan dengan tepat. Tidak ada<br />
ketentuan yang menyebutkan penambahan<br />
jumlah pasukan keamanan di Papua, dan hal<br />
ini patut dipertanyakan. Kelompok apartheid,<br />
atau dalam hal ini kelompok sipil bersenjata,<br />
muncul karena ketidakpedulian pemerintah<br />
itu sendiri. Ada banyak kelompok di Papua<br />
yang harus diwaspadai oleh pemerintah. Ada<br />
beberapa kelompok sipil yang perlu dihadapi<br />
oleh pemerintah, bukan dengan menganggap<br />
mereka sebagai musuh negara, tetapi dengan<br />
melakukan pendekatan dialog damai.<br />
Pemerintah cenderung mengatasi konflik pada<br />
hakikatnya dengan mengabaikan hak-hak rakyat<br />
Papua dan membuat keputusan berat sebelah<br />
tanpa mengupayakan dialog atau resolusi damai<br />
konflik Papua dengan melibatkan rakyat Papua.<br />
Pemerintah Baru dan Tantangannya terkait<br />
Papua<br />
Pemerintah tampaknya tidak berniat untuk<br />
mengupayakan dialog atau solusi damai yang<br />
meliputi, a) penyelesaian kasus pelanggaran<br />
HAM yang belum tuntas, dan b) berbagai<br />
masalah lain yang telah menjadi tuntutan<br />
masyarakat asli Papua sejak lama. Karena adanya<br />
kepentingan ekonomi di Papua yang menjadi<br />
prioritas pemerintah pusat, penyelesaian kasus<br />
pelanggaran HAM di Papua seperti jalan di<br />
tempat.<br />
Pada pertengahan 2014, perpindahan kekuasaan<br />
dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo<br />
(Jokowi) berdampak terhadap Papua dan Papua<br />
Barat. 72.49% rakyat di Papua dan 67.63%<br />
di Papua Barat mendukung Jokowi sebagai<br />
presiden Indonesia yang ke-7. Selama kampanye<br />
pemilu legislatif dan presiden, Jokowi melakukan<br />
dua kali kunjungan ke Jayapura. Kunjungan<br />
ini merupakan kunjungan pertama sebagai<br />
calon presiden Indonesia, sehingga Jokowi<br />
memperoleh simpati dan dukungan besar dari<br />
rakyat Papua. Jadi, rakyat menaruh harapan<br />
besar pada Jokowi untuk menjadikan situasi di<br />
Papua dan Papua Barat lebih baik dan bebas<br />
dari kekerasan. Sebagai pendatang baru, Jokowi<br />
tidak memiliki rekam jejak yang buruk terkait<br />
pelanggaran HAM di Indonesia. Sebaliknya,<br />
rival Jokowi, yakni Jend. Purn. Prabowo, mantan<br />
menantu Presiden Suharto, memiliki keterlibatan<br />
dalam kasus pelanggaran HAM di Mapenduma-<br />
Papua pada tahun 1996 dan kasus penculikan<br />
pada tahun 1997/1998. Selain itu, wakil presiden<br />
pendamping Jokowi adalah M. Jusuf Kalla (JK). JK<br />
dikenal sebagai penggagas proses perdamaian<br />
di Aceh pada tahun 2005 dengan mengadakan<br />
perjanjian dengan Gerakan Aceh Merdeka<br />
(GAM). JK diharapkan melanjutkan upayanya<br />
untuk mengupayakan perdamaian di Papua<br />
melalui dialog dengan perwakilan rakyat Papua.<br />
Selama kunjungannya di Papua dalam rangka<br />
menghadiri perayaan Natal di Stadion Mandala,<br />
Jayapura pada tanggal 28 Desember, 2014,<br />
Jokowi menyatakan penyesalannya atas kasus<br />
kekerasan yang terjadi di Enarotali - Paniai dan<br />
menyampaikan rasa empatinya kepada para<br />
korban kekerasan dan keluarga mereka. Jokowi<br />
juga berjanji bahwa kasus ini akan diselesaikan<br />
secepat mungkin, agar tidak terulang di<br />
masa mendatang. Jokowi juga berjanji untuk<br />
mengunjungi Papua sedikitnya tiga kali<br />
setahun untuk mendengarkan aspirasi dan<br />
berdialog dengan Rakyat Papua dalam rangka<br />
membangun kepercayaan antara Presiden dan<br />
Rakyat Papua. Jokowi juga menegaskan bahwa<br />
konflik di Papua harus diakhiri, dan meminta<br />
kelompok-kelompok yang masih bersembunyi<br />
di hutan dan pegunungan (gerilya) untuk keluar.<br />
Ia berharap bahwa Papua dapat dibangun<br />
bersama sebagai Tanah Damai.<br />
Di saat yang sama, Jokowi menyusun peraturan<br />
untuk memperluas Komando Daerah Militer<br />
(Kodam Jaya) di Papua. Namun peraturan<br />
tentang Kodam Jaya ini belum disahkan.<br />
Presiden Joko Widodo telah keliru menafsirkan<br />
masalah yang timbul dalam konflik Papua. Konflik<br />
tersebut berasal dari tidak adanya akuntabilitas<br />
Hak Asasi Manusia di Papua 2015