Daftar Isi
HAM%20DI%20PAPUA%202015_EPUB
HAM%20DI%20PAPUA%202015_EPUB
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
prinsip HAM, berdasarkan Yurisprudensi no.<br />
1174 K/ Pid/1994 dan nomor 1592 K/Pid/1994.<br />
Ada beberapa kasus yang dilaporkan ketika<br />
penyidik menggunakan strategi ini terhadap<br />
tersangka yang tidak mengerti bahasa<br />
Indonesia, misalnya saat penyidikan terhadap 12<br />
tersangka (Philemon Yare dan rekan-rekannya),<br />
yang ditahan pada tanggal 10 Agustus 2014 di<br />
dekat Desa Berap. Penyidik menggunakan salah<br />
satu warga desa sebagai penerjemah, yang<br />
ditangkap bersama tersangka lain, namun harus<br />
dilepas karena polisi tidak dapat membuktikan<br />
keterlibatannya dalam tindak pidana. Selama<br />
interogasi, penyidik berulang kali memukul<br />
mulut penerjemah karena ia tidak menerima<br />
pernyataan tersangka. Selama tahap awal<br />
interogasi, penyidik tidak mengizinkan anggota<br />
keluarga untuk mengunjungi tersangka dengan<br />
alasan perintah langsung dari atasannya, di mana<br />
hal tersebut bertentangan dengan hukum.<br />
Terkait proses hukum di tingkat kejaksaan<br />
dan di pengadilan, bukti penyidikan polisi<br />
seringkali tidak cukup, namun kasus tersebut<br />
tetap diterima oleh jaksa penuntut umum dan<br />
disidangkan. Jaksa penuntut umum seringkali<br />
tidak berani mengembalikan laporan penyidikan<br />
polisi apabila bukti yang diberikan tidak cukup,<br />
terutama ketika tersangka telah didakwa<br />
melakukan makar, merupakan pembela HAM<br />
atau aktivis politik. Oleh karena itu, selama<br />
persidangan, tuntutan jaksa penuntut umum<br />
seringkali tidak dapat dibuktikan oleh fakta<br />
dan bukti yang ada. Namun, jaksa penuntut<br />
umum cenderung bersikukuh bahwa kesalahan<br />
terdakwa telah terbukti dan memberikan<br />
tuntutan hukuman yang berat, seperti dalam<br />
pengadilan kasus makar terhadap Pieter<br />
Hengels Manggaprouw, yang melancarkan aksi<br />
damai untuk memperingati Kongres Rakyat<br />
Papua III dan pembebasan tahanan politik.<br />
Polisi menganggapnya demonstrasi tersebut<br />
sebagai tindak pidana dan menyerahkan berkas<br />
kasus tersebut ke jaksa penuntut umum, yang<br />
menuntut 7 tahun penjara. Walaupun hakim<br />
secara objektif tidak menganggap demonstrasi<br />
sebagai suatu tindak pidana, yang secara hukum<br />
dijamin melalui kebebasan berekspresi, hakim<br />
menjatuhkan hukuman dua tahun penjara<br />
kepada Manggaprouw. Putusan tersebut<br />
dianggap lebih ringan dibandingkan tuntutan<br />
jaksa. Akan tetapi, kasus ini menunjukkan bahwa<br />
majelis hakim tidak memiliki keberanian untuk<br />
membebaskan tersangka,yang memberikan<br />
kesan bahwa pengadilan ini berada di bawah<br />
pengaruh politik yang kuat. Intervensi ini tampak<br />
jelas setelah kasus diserahkan ke kejaksaan, dan<br />
jaksa penuntut umum kehilangan independensi<br />
karena atasannya dari Kejaksaan Tinggi Provinsi<br />
sangat terlibat dalam mempersiapkan tuntutan,<br />
meskipun tidak secara langsung terlibat dalam<br />
penanganan kasus.<br />
Sidang di Pengadilan Negeri yang terkait<br />
dengan kasus makar atau kepemilikan senjata<br />
dan amunisi ilegal diawasi secara ketat oleh<br />
polisi dari unit intelijen, unit reserse dan unit<br />
Sabhara. Keterlibatan polisi di sidang pengadilan<br />
mengganggu saksi dan tersangka dalam<br />
memberikan kesaksian, serta memengaruhi<br />
tuntutan jaksa dan putusan hakim. Militer juga<br />
digunakan untuk mengintimidasi pengacara<br />
yang memberikan bantuan hukum kepada<br />
tersangka, terutama melalui pengambilan<br />
gambar saat pemeriksaan saksi dan meminta<br />
nama pengacara, seperti yang terjadi di<br />
sidang pengadilan Oktavianus Warnares<br />
dan lima tersangka lainnya. Setelah sidang,<br />
pengacara Ivonia Tetjuari diintimidasi oleh<br />
anggota komando daerah militer Biak. Dua<br />
pria mendekatinya dan menanyakan nama dan<br />
alamatnya di Biak.<br />
Intervensi oleh aparat penegak hukum terhadap<br />
hakim juga terjadi selama pra-peradilan yang<br />
diajukan oleh anggota keluarga terdakwa atau<br />
pengacara atas pelanggaran acara pidana<br />
yang dilakukan polisi saat penangkapan,<br />
penahanan dan penggeledahan. Beberapa<br />
kasus menunjukkan bahwa hakim tidak memiliki<br />
keberanian untuk menegakkan standar hukum<br />
yang bertentangan dengan kepentingan<br />
pihak-pihak atau lembaga-lembaga tertentu.<br />
Akibatnya, hakim seringkali tidak menerima<br />
tuntutan pengacara saat pra-peradilan untuk<br />
123<br />
Institusi, Sistem Hukum, dan Hak Transformasi Sektor Sipil dan Keamanan Konflik Politik