Daftar Isi
HAM%20DI%20PAPUA%202015_EPUB
HAM%20DI%20PAPUA%202015_EPUB
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
2.6 Konflik Horizontal dan Kelalaian Polisi<br />
LSM dan gereja di Papua telah melaporkan adanya peningkatan jumlah konflik<br />
horizontal di Papua sejak awal tahun 2014. Beberapa konflik tersebut terjadi<br />
antar suku, tetapi sebagian besar kasus yang didokumentasikan menunjukkan<br />
ketegangan yang berkembang antara penduduk asli Papua dengan kaum<br />
pendatang. Dalam berbagai kasus, pembela HAM melaporkan bahwa polisi tidak<br />
bertindak secara tidak memihak (impartial). Mereka cenderung berpihak pada<br />
pelaku tindak kekerasan terhadap penduduk asli Papua. Dalam beberapa kasus,<br />
seperti bentrokan berbasis agama di Sorong, polisi malah terlibat langsung sebagai<br />
pelaku.<br />
50<br />
Ketegangan dan konflik yang terus meningkat<br />
antara berbagai segmen budaya di Papua sudah<br />
dilaporkan sepanjang abad lalu. Sejak tahun 2014,<br />
banyak gereja dan LSM yang sudah menyuarakan<br />
kekhawatiran mereka akan meningkatnya<br />
jumlah bentrokan antara masyarakat asli dengan<br />
masyarakat pendatang. Beberapa insiden yang<br />
terjadi menunjukkan bahwa kemarahan antara<br />
kedua pihak telah meningkat dalam beberapa<br />
tahun terakhir, karena kurangnya integrasi<br />
budaya dan ketimpangan sosial antara kedua<br />
kelompok tersebut. Hal ini berakhir pada tindak<br />
kekerasan.<br />
Meningkatnya jumlah konflik horizontal antara<br />
masyarakat asli dan pendatang bersumber<br />
dari kebijakan pemerintah yang tidak adil.<br />
Permasalahan itu juga bermula dari program<br />
transmigrasi yang dicanangkan oleh rezim<br />
pemerintahan Presiden Soeharto. Dalam era<br />
Orde Baru, ribuan warga Indonesia yang berasal<br />
dari pulau-pulau lain yang padat ikut dalam<br />
program transmigrasi dan menetap di Papua.<br />
Di Papua, mereka diberikan tanah, rumah,<br />
dan peralatan dasar untuk bertani. Hingga<br />
kini, masyarakat asli Papua masih menuntut<br />
kompensasi kepada pemerintah atas tanah<br />
mereka yang dirampas untuk membangun<br />
pemukiman atau perkebunan kelapa sawit.<br />
Tidak mengherankan apabila beberapa konflik<br />
horizontal terjadi di beberapa wilayah bekas<br />
pemukiman transmigran seperti Arso - di mana<br />
masyarakat pendatang tinggal di pemukiman<br />
terpisah, jauh dari pemukiman masyarakat asli<br />
Papua.<br />
Lebih lanjut, mayoritas warga pendatang<br />
beragama Islam, yang dapat merupakan<br />
hambatan tambahan untuk berintegrasi di<br />
Papua, di mana mayoritas masyarakatnya<br />
beragama Kristen. Pemerintah setempat telah<br />
gagal menciptakan program yang mendukung<br />
integrasi budaya dan sosial untuk warga<br />
pendatang. Pihak berwenang juga telah gagal<br />
dalam mendorong perdamaian dan toleransi,<br />
serta mencegah konflik antar etnis dan agama.<br />
Apabila jumlah pendatang semakin bertambah<br />
dan tidak terkendali, hal ini sangat mungkin akan<br />
memicu naiknya konflik horizontal di waktuwaktu<br />
dekat.<br />
Sumber konflik yang lain adalah adanya ketidakadilan<br />
yang lain terkait dengan permasalahan<br />
pelayanan kesehatan dan fasilitas pendidikan.<br />
Tidak meratanya pembagian guru menunjukkan<br />
salah satu contah dari banyak contoh lain yang<br />
mengarah pada tuduhan adanya diskriminasi<br />
kebijakan pembangunan di Papua. Sebuah<br />
survey yang dilaksanakan oleh Pater John<br />
Djonga dan Dale Cypri menunjukkan bahwa<br />
situasi pendidikan di Kabupaten Keerom tidak<br />
merata. Seorang guru di Distrik Towe, di mana<br />
penduduknya adalah mayoritas orang Papua asli,<br />
mengajar 52 siswa. Sedangkan, guru di distrik<br />
Arso atau Skanto yang didominasi pendatang<br />
rata-rata mengajar hanya 11 orang siswa.<br />
Sepanjang tahun 2014, pembela HAM dan<br />
gereja di Papua melaporkan adanya konflik<br />
horizontal antara warga masyarakat asli Papua<br />
dengan warga non-Papuan. Polisi cenderung<br />
gagal melindungi orang asli Papua, atau tidak<br />
Hak Asasi Manusia di Papua 2015