Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
MEMAHAMI MUHAMMAD<br />
emosional. Ketika kita berjalan dan berinteraksi dengan dunia, manusia perlu<br />
menemukan cara untuk menentukan hal apa yang penting, apa yang perlu, dan apa<br />
yang relevan bagi dirinya dibandingkan hal² yang tidak bermakna dan tidak berarti.<br />
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Yang tampaknya penting untuk dilihat adalah<br />
hubungan antara daerah² sensor di temporal lobes dan amyangdala. Amyangdala adalah<br />
pintu gerbang ke pusat² emosi dalam otak. Kekuatan hubungan² inilah yang<br />
menentukan hal² mana yang terasa lebih penting secara emosional. Ini bagaikan daerah<br />
luas emosi, dengan lembah² dan gunung² yang semuanya berhubungan dengan apa<br />
yang kita anggap penting atau tidak. Setiap orang punya daerah seperti ini yang sedikit<br />
berbeda dengan milik orang lain. Sekarang bayangkan apa yang terjadi pada temporal<br />
lobe epilepsy ketika seseorang mengalami kekejangan otak berk<strong>ali</strong>-k<strong>ali</strong>. Yang mungkin<br />
terjadi adalah jalur² yang menentukan apa yang penting atau tidak jadi kacau. Hal ini<br />
bagaikan air meng<strong>ali</strong>r di permukaan lembah² tersebut. Ketika air hujan datang terusmenerus,<br />
maka air yang menggenangi memperlebar celah lembah yang ada dan dengan<br />
begitu meningkatkan perasaan penting akan hal² yang dulu tidak terasa penting. Jika<br />
dulu bertemu dengan singa, harimau dan ibu merupakan hal penting, tapi sekarang<br />
segala yang hal tidak penting jadi terasa penting. Misalnya, sebutir pasir, sepotong kayu,<br />
sebutir nasi, dan hal² yang remeh sekarang diamati dengan sangat seksama. Kecenderungan<br />
seperti ini serupa dengan pengalaman rohani yang dialami seseorang.<br />
Tiada daerah tertentu dalam temporal lobe yang berhubungan dengan Tuhan. Tapi<br />
ada kemungkinan terdapat bagian tertentu dalam temporal lobes yang peka terhadap hal²<br />
bersifat relijius. Memang ini belum pasti, tapi ada kemungkinan seperti itu. Sekarang<br />
pertanyaannya adalah mengapa kita memiliki fungsi syaraf tertentu dalam temporal lobes<br />
yang berhubungan dengan hal relijius? Kepercayaan pada agama adalah sifat yang<br />
umum. Setiap suku, setiap masyarakat memiliki ibadah agama tertentu. Kemungkinan<br />
alasan terbentuknya kepercayaan, jika memang kepercayaan itu dibentuk, adalah karena<br />
kepercayaan berhubungan dengan stabilitas masyarakat, yang memudahkan diri<br />
seseorang jika dia percaya pada makhluk illahi yang maha kuasa. Ini kemungkinan alasa<br />
mengapa perasaan relijius terjadi dalam otak.<br />
Sejarah penuh dengan tokoh² relijius. Psikologis William Janes (1902) percaya bahwa<br />
Rasul Paulus menemukan hati nuraninya yang baru dalam perjalanannya ke Damaskus,<br />
ketika dia melihat <strong>sina</strong>r dan mendengar suara yang bertanya padanya, “Saul, Saul,<br />
mengapa kau menyiksaku?”, dan setelah itu dia buta untuk sementara waktu dan<br />
ber<strong>ali</strong>h memeluk kepercayaan baru. Yang dialaminya kemungkinan adalah “badai syaraf<br />
kejiwaan atau luka kejang seperti epilepsi.” Rasul Paulus menerangkan penglihatannya<br />
sebagai berikut: Agar aku tidak sombong karena mendapat wahyu² hebat ini, aku<br />
dibiarkan menderita fisik bagaikan ada duri dalam daging, yang dikirim oleh setan<br />
untuk menyiksaku. Tiga k<strong>ali</strong> aku meminta pada Tuhan untuk membebaskanku dari<br />
siksaan fisik ini. Tapi Tuhan berkata padaku, “Anugerahku sudah cukup bagimu, karena<br />
kekuatanku sempurna dalam penderitaan.<br />
Ahli TLE bernama Eve LaPlante berpendapat bahwa pengalaman Musa bertemu<br />
dengan semak belukar yang membara adalah akibat dari TLE. Yehezkiel juga diduga<br />
menderita TLE. Penglihatannya sangat mengejutkan:<br />
129