Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
MEMAHAMI MUHAMMAD<br />
suaranya, “Apa? Masakan kita membunuh ayah, saudara, paman kita sendiri tapi harus<br />
menahan diri untuk tidak membunuh Abbas? Tidak, aku pasti akan membunuhnya jika<br />
aku menemuinya.” Sewaktu mendengar komentar melawan ini, Omar, seperti biasanya<br />
dalam menunjukkan kesetiannya, mencabut pedangnya dan melihat pada sang Nabi<br />
menunggu tanda perintah untuk seketika memancung anak muda tak tahu aturan ini. 289<br />
Ancaman ini mendatangkan akibat seketika. Kelakuan Hodhaifa dengan cepat<br />
berubah dan kita lihat di akhir pertempuran, dirinya jadi tunduk dan berbeda. Ketika dia<br />
melihat ayahnya dibunuh dan mayatnya diseret untuk dibuang ke dalam sumur, dia<br />
tidak tahan dan mulai menangis. “Kenapa?” tanya Muhammad, “Apakah kau sedih<br />
dengan kematian ayahmu?” Tidak begitu, wahai Rasul Allâh!” jawab Hodhaifa, “Aku<br />
tidak ragu akan keadilan atas nasib ayahku; tapi aku kenal benar hatinya yang bijaksana<br />
dan pemurah, dan aku dulu percaya Tuhan akan membimbingnya memeluk Islam. Tapi<br />
sekarang aku melihat dia mati, dan harapanku punah! – itulah mengapa aku bersedih.”<br />
K<strong>ali</strong> ini Muhammad senang akan jawabannya, dan dia menghibur Abu Hodhaifa,<br />
memberkatinya; dan berkata, “Itu baik.” 290<br />
Sikap tidak suka Muhammad terhadap bantahan Hodhaifa dan reaksi cepat Omar<br />
untuk mengancam membunuhnya di tempat itu juga, merupakan stimuli (pengaruh)<br />
kuat yang mengakibatkan Hodhaifa berubah perangai seketika dan sehari kemudian dia<br />
bahkan melihat “keadilan” atas kematian ayahnya. Begitu Hodhaifa kehilangan ayahnya,<br />
yang dibunuh oleh teman²nya sendiri, maka tidak ada jalan kemb<strong>ali</strong> baginya. Dia harus<br />
membenarkan apa yang dilakukannya dan merasionalkan pembunuhan ayahnya.<br />
Menemukan nalarnya dan menghadapi rasa bersalah nuraninya terlalu menyakitkan.<br />
Dia harus terus melanjutkan jalan yang ditempuhnya dan meyakinkan dirinya bahwa<br />
Islam itu benar atau menghadapi rasa bersalah seumur hidup.<br />
Para pemimpin <strong>ali</strong>ran sesat punya kemampuan sangat cerdik untuk mengontrol<br />
pikiran² pengikutnya. Seperti yang dikatakan Hitler, kebohongan² yang besar lebih<br />
mudah dipercaya oleh orang banyak, dan pemimpin <strong>ali</strong>ran sesat psikopat adalah biang<br />
pembuat kebohongan besar.<br />
Ada kisah yang disampaikan oleh Abdullah bin Ka’b bin M<strong>ali</strong>k yang menunjukan<br />
kontrol seperti apa yang diterapkan Muhammad pada pengikutnya, baik secara<br />
psikologis maupun sosial. Ibn Ka’b berkata bahwa dia adalah Muslim taat dan telah<br />
menemani Muhammad dalam seluruh kegiatan perampokannya sehingga dia jadi kaya<br />
raya. Tapi ketika Muhammad memanggil pengikutnya untuk bersiap menyerang kota<br />
Tabuk di tengah² musim panas di mana buah²an sedang ranumnya, maka Ibn Ka’b<br />
memilih tidak ikut pergi. Setelah kemb<strong>ali</strong> dari Tabuk, Muhammad memanggil mereka<br />
yang tidak ikut pergi dan menanyakan alasannya. Banyak yang punya alasan kuat<br />
sehingga mereka diampuni. Tapi ibn Ka’b dan dua orang Muslim lain tidak berani<br />
bohong untuk mencari alasan.<br />
289 Muir; The Life of Mohammet Vol. III Ch. XII, Page 109.<br />
290 Muir; The Life of Mohammet Vol. III Ch. XII, Page 109; (Waqidi, p. 106; Sirat p. 230; Tabari, p. 294)<br />
210