%5BMuhammad%20Mustafa%20Al-A'zami%5D%20Sejarah%20Teks%20Al-Quran
%5BMuhammad%20Mustafa%20Al-A'zami%5D%20Sejarah%20Teks%20Al-Quran
%5BMuhammad%20Mustafa%20Al-A'zami%5D%20Sejarah%20Teks%20Al-Quran
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
This document is created with trial version of CHM2PDF Pilot 2.15.74.<br />
menyerukan kebencian terhadap orang lain."49<br />
Jean-Paul Satre, pengarang yang menganut paham eksistensialis dan yang juga keturunan Yahudi<br />
dari sisi ibu, berkilah dengan nada yang sama: akal mesti menggantikan agama sebagai penyelesaian<br />
utama masalah-masalah kehidupan. Bagi Satre kelanjutan beragama berarti penyiksaan kronik terhadap<br />
orang-orang Yahudi, dan pemusnahan akan menjadi kunci bagi mengurangi sikap anti-Semitis. 50<br />
Ketika membaca buku kecil yang berjudul Great Confrontation in Jewish History,51 saya secara<br />
kebetulan hadir dengan tema "Modernity and Judaism" yang disampaikan oleh Dr. Hertzberg, seorang<br />
pendeta Yahudi dan asisten Guru Besar Bidang Sejarah Universitas Columbia.52 Ketika meneliti tingkah<br />
laku para pemikir Yahudi yang ulung mengenai agama mereka, Hertzberg memberi tumpuan utama<br />
terhadap Marx dan Sigmund Freud. Marx muda, menurutnya, memandang orang Yahudi dalam Die<br />
Judenfrage (Pertanyaan Keyahudian) sebagai proto-Kapitalis, dan sebagai korban ketegangan dahsyat<br />
disebabkan oleh sistem keuangan dan perjalanan ekonomi. guna menyelesaikan kepentingan Yahudi,<br />
adalah dengan menghancurkan hierarki kelas dan ekonomi, juga membebaskan orang-orang Kristen dan<br />
Yahudi dengan menjatuhkan tradisi yang berlaku dalam kapitalisme. Frued di sisi lain memandang agama<br />
sebagai obsesi yang bersifat kekanak-kanakan terhadap para tokoh yang memiliki otoritas, yang pada<br />
dasarnya merupakan sebuah pesakitan di mana setiap orang harus lebih unggul dalam mencapai<br />
kesehatan mental dan kedewasaan.53<br />
Sikap oposisi terhadap pemujaan berhala dan pemberontak hendak melenyapkan norma-norma<br />
sejarah, tak terbatas pada Marx dan Frued; "orangorang luar" yang memiliki pola pikiran seperti Yahudi<br />
juga kebanyakan berpendirian seperti itu. Mengapa? Hertzberg melihatnya sebagai seruan pembebasan:<br />
bahwa dengan memisahkan orang-orang Yahudi dari setiap unsur masa lalu di zaman abad pertengahan<br />
Eropa, mereka dapat mulai merasakan kesegaran hidup yang setaraf dengan orang-orang bukan Yahudi.<br />
Hat ini, menurutnya, merupakan titik awal modernisasi Yahudi. Membangun kedudukan yang kuat ke<br />
dalam budaya Barat, menuntut penghapusan sejarah Eropa masa lalu yang penuh dengan kepercayaan<br />
dan mitologi Kristen, seperti semua manusia lahir dari debu-debu sejarah yang telah hangus, akan bekerja<br />
sama sebagai sahabat di era baru.54<br />
Dalam penilaian Hertzberg, yang anti-Nasionalis dan pro-Universalis pembaruan Yahudi, tak jauh<br />
berbeda dengan nasionalis kontemporer yang merasa bangga dengan diri sendiri sebagai Zionis.<br />
Sementara keduanya saling berseberangan, namun mereka bersaing demi tujuan yang sama. Bagi pembaruan<br />
Yahudi abad ke-19, agama dianggap sebagai belenggu yang mesti dimusnahkan demi penegakan<br />
persamaan hak. Sebagai perbandingan, Zionisme kontemporer menyatakan bahwa agama tidak lagi<br />
memadai sebagai kekuatan menyatukan.<br />
Kecuali untuk golongan keagamaan, mayoritas kaum Zionis, baik yang bersifat politik<br />
ataupun kultural, adalah kaum sekularis yang memulai anggapan bahwa agama Yahudi tidak<br />
lagi mampu berfungsi sebagai dasar kesatuan dan oleh karenanya kebijakan untuk<br />
melangsungkan keberadaan orang Yahudi mesti dibangun di atas beberapa premis yang<br />
lain.... Perintah yang paling besar bukan lagi penderitaan untuk mengorbankan diri demi<br />
kesucian Nama Tuhan, tapi untuk berjuang demi membangun kembali tanah air.55<br />
Apa yang dikatakan Peres, Hertzberg, Satre, Marx, Freud dan yang lain tampaknya para<br />
cendekiawan Yahudi menuntut adanya satu komunitas global tanpa Tuhan, agama, dan juga sejarah-yang<br />
merupakan antitesis dari anggapan orang-orang Yahudi bahwa hak mereka terhadap tanah Palestina<br />
berpijak pada janji Yahweh.56 Keinginan mereka untuk bersatu ke dalam suatu masyarakat yang lebih<br />
luas menuntut pemutusan hubungan masa lalu: menghapus sejarah dan memalsukan pengganti baru.<br />
Guna mencapai tujuan ini Wellhausen dan yang lain memulai tugas mencabik-cabik integritas Perjanjian<br />
Lama, membuka jalan penyerangan terhadap Perjanjian Baru, yang kemudian merambah kepada Al-<br />
Qur'an. Dalam tahun-tahun suram sewaktu Perang Dunia Kedua, orang-orang Yahudi tak dinafikan<br />
menanggung penderitaan dan beban tragedi yang membakar kemanusiaan. Sambil mengakui penderitaan<br />
mereka (yaitu orang-orang Yahudi), para sekutu yang menang, memberi ganti rugi dengan satu anugerah<br />
meriah berupa `tanah air' di atas teritorial bukan milik kelompok ini dan kelompok itu, yang dalam proses<br />
mendapatkannya memaksa jutaan penduduk asli menanggung keberadaan yang mengenaskan sebagai<br />
pengungsi. Saat itu, segala upaya sekularisasi agarna Kristen dan Yahudi guna mengubah mereka<br />
menjadi lambang-lambang yang diambil dari luar dalam kehidupan sehari-hari, telah mengalami sedikit<br />
kemajuan. Akan tetapi, keinginan hendak melenyapkan Tuhan, agama, dan sejarah dari jiwa kaum<br />
Muslimin hanya membuahkan tantangan yang lebih besar: bahkan ketika proses sekularisasi mulai<br />
menapak jalan masuk, kaum Muslimin tidak dapat menoleransi pihak Israel. Keberhasilan dalam bidang<br />
ini, sekarang ditujukan untuk membuktikan bahwa seluruh referensi mengenai orang-orang Yahudi atau<br />
Palestina yang ada dalam teks-teks Islam adalah palsu,57 sekaligus mengikuti jejak Perjanjian Baru58<br />
dalam menyikat bersih semua ayat-ayat dan surah-surah dalam Al-Qur'an yang dilihat sebagai anti-Semit.<br />
Sepanjang kaum Muslimin berpegang teguh dengan AI-Qur’an sehagai Kalam Allah yang tak<br />
mungkin diubah, isu pembersihan tetap di luar jangkauan mereka; dalam hal ini Wansbrough<br />
memperagakan "bukti" bahwa Al Qur'an yang ada sekarang ini bukan lagi semata-mata "karya tulis<br />
Muhammad", tetapi karya banyak komunitas yang terpencar-pencar di seluruh dunia Islam yang<br />
membangun teks itu sekitar dua ratus tahun lebih.59 Mengutip Humphreys: