%5BMuhammad%20Mustafa%20Al-A'zami%5D%20Sejarah%20Teks%20Al-Quran
%5BMuhammad%20Mustafa%20Al-A'zami%5D%20Sejarah%20Teks%20Al-Quran
%5BMuhammad%20Mustafa%20Al-A'zami%5D%20Sejarah%20Teks%20Al-Quran
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
This document is created with trial version of CHM2PDF Pilot 2.15.74.<br />
Waktu merupakan referensi penting dalam semua kejadian: dahulu, kini, dan mendatang. Waktu<br />
sekarang secara otomatis akan menjadi bagian dari masa lampau; yang balk saja berlalu, la akan hilang<br />
begitu saja. Kebanyakan peristiwa masa lampau akan lepas dari genggaman dan bahkan tak mungkin<br />
dapat diraba, dan jika peristiwa itu mendekat pada kita secara tidak langsung (seperti melalui bahan<br />
tertulis), maka akurasi berita akan jadi puncak perhatian kita. Saat Rasulullah memasuki episode sejarah,<br />
pemeliharaan Kitab Al-Qur'an dan Sunnah menjadi tanggung jawab para sahabat, di mana komunitas<br />
Muslim mampu membuat satu konstruksi keilmuan yang begitu njelimet dalam mengurangi ketidakpastian<br />
yang menjadi sifat dari sistem pengalihan ilmu pengetahuan. Sistem ini didasarkan pada hukum<br />
kesaksian.<br />
Pikirkanlah pernyataan sederhana ini: A meneguk air dari cangkir saat ia berdiri. Walaupun kita tahu<br />
keberadaan orang tersebut namun guna mengesahkan kebenarannya, hanya dengan mengandalkan<br />
penalaran otak dirasa tidak memungkinkan. Barangkali A tidak minum air sama sekali, atau mungkin<br />
minum dengan menelengkupkan tangan, bahkan mungkin melakukannya sewaktu la duduk; semua<br />
kemungkinan itu tidak dapat dimasukkan sekadar melalui kesimpulan. Maka, permasalahan yang ada<br />
tergantung pada sikap kejujuran pembawa berita serta ketelitian seorang yang mengamati. Oleh sebab itu,<br />
C, seorang pendatang baru yang tidak tahu duduk masalahnya, untuk melacak berita itu ia akan berpijak<br />
pada cerita saksi mata B. Guna melaporkan kejadian itu pada pihak lain, C harus menentukan sumber<br />
berita sehingga kejujuran pernyataan di atas akan bergantung pada:<br />
a. Ketelitian B dalam mengamati kejadian, dan kebenarannya dalam membuat laporan.<br />
b. Ketelitian C dalam memahami informasi serta kebenarannya dalam menceritakan pada yang lain.<br />
Membuat spekulasi kehidupan pribadi B dan C pada umumnya tidak menarik minat para pakar kritik<br />
dan sejarah, namun para ilmuwan Muslim melihat permasalahan yang ada dari sisi pandangan yang<br />
berbeda. Menurut pendapat mereka, seseorang yang membuat pernyataan mengenai A sebenarnya<br />
sedang membuat kesaksian terhadap apa yang telah dilakukannya. Demikian juga, C sebenarnya<br />
membuat kesaksian terhadap perilaku B, dan seterusnya, di mana setiap orang membuat kesaksian<br />
terhadap pendahulu yang tergabung dalam jaringan mata rantai riwayat. Dengan memberi pengesahan<br />
terhadap laporan tersebut berarti membuat kajian kritis terhadap semua pihak yang tergabung dalam<br />
rangkaian riwayat.<br />
3. Permulaan dan Perkembangan Sistem Isnad.<br />
Metode ini merupakan genetika lahirnya sistem isnad. la bermula sejak zaman Rasulullah yang<br />
kemudian merebak menjadi ilmu tersendiri pada akhir abad pertama hijrah. Dasar tatanan ilmu ini berpijak<br />
pada kebiasaan para sahabat dalam transmisi hadith di kalangan mereka. Sebagian mereka membuat<br />
kesepakatan menghadiri majelis Rasulullah secara bergiliran, memberi tahu apa yang telah mereka dengar<br />
dan saksikan;7 dalam memberitakan tentunya mereka harus menyebut, "Rasulullah melakukan ini dan itu"<br />
atau "Rasulullah mengatakan ini dan itu." Dan, tentunya wajar jika orang itu mendapat informasi dari<br />
tangan ke dua, ketika ia menceritakan pada orang ke tiga, la akan menjelaskan sumber aslinya mencakup<br />
semua cerita yang terjadi.<br />
Pada dasawarsa ke empat kalender Islam, ungkapan-ungkapan yang belum sempurna dirasa<br />
penting karena munculnya fitnah yang melanda pada saat itu (pemberontakan terhadap Khalifah Uthman<br />
yang terbunuh pada tahun 35 hijrah). Ungkapan itu sebagai langkah awal sikap kehati-hatian para ilmuwan<br />
yang mulai sadar dan tetap ingin menyelidiki setiap sumber informasi.8 Ibn Sirin (w. 110 H.), misalnya,<br />
mengatakan, "Para ilmuwan (pada mulanya) tidak mempersoalkan isnad, tetapi saat fitnah mulai meluas<br />
mereka menuntut, 'Sebutkan nama orang-orang kalian [para pembawa riwayat hadith] pada kami.' Bagi<br />
yang termasuk ahlus sunnah, hadith mereka diterima, sedang yang tergolong tukang mengada-ada, hadith<br />
mereka dicampakkan ke pinggiran."9<br />
Menjelang abad pertama, kebiasaan ini mulai mekar yang akhirnya menjadi cabang ilmu tersendiri.<br />
Kemestian mempelajari Al-Qur'an dan Sunnah memberi arti bahwa sejak beberapa abad perkataan `ilm<br />
(ilmu), hanya diterapkan pada kajian di bidang keagamaan,10 dan dalam masa yang penuh ghirah<br />
mempelajari ilmu hadith telah melahirkan tradisi al-rihlah (piknik pencarian ilmu). Karena dianggap sebagai<br />
salah satu syarat utama di bidang keilmuan, kita dapat menyimak makna penting dari ucapan Ibnu Ma'in<br />
(w. 233 H) yang menyebut bahwa siapa saja yang mengurung diri belajar ilmu di negeri sendiri dan enggan<br />
berpikir ke luar, ia tidak akan mencapai kematangan ilmu.11<br />
Bukti adanya pengalihan 'ilm melalui cara seperti ini datang dari ribuan hadith yang memiliki<br />
ungkapan-ungkapan yang sama tetapi bersumber dari belahan dunia Islam yang berlainan, yang masingmasing<br />
melacak kembali asal-usulnya yang bermuara pada sumber yang sama, yaitu Rasulullah,<br />
Sahabat, dan Tabi'in. Kesamaan isi kandungan yang menyebar melintasi jarak jauh, di suatu zaman yang<br />
minus alat komunikasi canggih, memberi kesaksian kebenaran akan kiat sistem isnad.12<br />
i. Fenomena Isnad dan Pemekarannya<br />
Pemekaran sistem isnad pada permulaan abad Islam begitu menggiurkan. Anggaplah bahwa pada