Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah
Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah
Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Pembahasan Ahma<strong>di</strong>yyah<br />
Apakah beliau memahaminya? Seperti apa yang <strong>di</strong>katakan<br />
<strong>Ahma<strong>di</strong>yah</strong> terhadap Nabi Muhammad s.a.w. demikian <strong>Ahma<strong>di</strong>yah</strong><br />
mulai menggunakan Ha<strong>di</strong>ts-ha<strong>di</strong>ts untuk kepentingan. Mirza<br />
Ghulam. Lima tahun sesudah turunnya ayat khataman Nabiyin,<br />
demikian <strong>Ahma<strong>di</strong>yah</strong> berkata, putera Nabi s.a.w. yang bernama<br />
Ibrahim wafat. Dalam hubungannya dengan wafatnya putera<br />
beliau ini, Nabi Muhammad s.a.w . bersabda:<br />
"Sekiranya <strong>di</strong>a (Ibrahim) terus hidup niscaya <strong>di</strong>a<br />
menja<strong>di</strong> seorang Nabi yang benar. (Ibnu Majah)."4<br />
Dari sabda Nabi tersebut <strong>di</strong> atas nyatalah pengertian Nabi<br />
kita yang sebenarnya, pengertian yang tidak membenarkan<br />
faham bahwa khataman Nabiyin berarti penutup Nabi-nabi.<br />
Lebih jelas lagi <strong>Ahma<strong>di</strong>yah</strong> mengatakan, bahwa sekiranya<br />
Rasulullah berpengertian tidak akan ada Nabi lagi sesudah<br />
beliau, niscaya tidak beliau katakan yang tersebut <strong>di</strong> atas.5<br />
<strong>Ahma<strong>di</strong>yah</strong> mengutip ha<strong>di</strong>ts tersebut dari ibn Majah jilid satu<br />
halaman 234, yang kedudukannya tanpa menyebut-nyebut<br />
sanadnya. Sedangkan kata "sekiranya" itu memberi arti "tidak<br />
mungkin terja<strong>di</strong>" sebab sekiranya Ibrahim hidup, padahal ia<br />
telah wafat. Anehnya, sesudah seribu tahun lebih dari<br />
kewafatan putera Rasulullah s.a.w. itu, ada seorang yang<br />
berambisi mengambil-alih kesempatan yang mungkin ada pada<br />
Ibrahim untuk menja<strong>di</strong> Nabi, yakni Mirza Ghulam Ahmad.<br />
Oleh karena segala kemungkinan adanya Nabi baru tidak akan<br />
pernah ada dan tidak akan ada samasekali, bersabda Nabi<br />
Muhammad:<br />
"Kalau sekiranya ada Nabi sesudahku, maka Umarlah <strong>di</strong>a"<br />
(Masnad ibn Hambal Umar bin Khattab masih hidup tatkala<br />
Nabi Muhammad s.a.w. mengucapkan ucapan beliau<br />
tersebut. Dan tatkala beliau s.a.w. telah lama pergi,<br />
Umar masih ada, namun beliau hanyalah seorang Khalifah.<br />
Ini bertepatan dengan sabda Rasul:<br />
"Adapun bani Israil itu terpimpin oleh Nabi-nabi. Tiap<br />
seorang Nabi wafat maka datanglah Nabi yang lain<br />
mengikutinya. Dan sesungguhnya sesudah saya tidak akan<br />
ada Nabi, melainkan Khalifah." (Ibn Hambal, Muslim, Ibn<br />
Majah)<br />
Akan tetapi ambisi yang meluap-luap itu tidak memungkinkan<br />
Mirza Ghulam mundur selangkah saja untuk membuang titel<br />
kenabiannya. Juga ia tidak akan berkompromi pada siapa saja<br />
untuk meninggalkan kerasulannya, keyesusannya, dan<br />
kemah<strong>di</strong>annya .<br />
file:///D|/elite-ebook/me<strong>di</strong>a.isnet.org/islam/<strong>Telanjang</strong>/Demagog.html (2 of 6)14/05/2006 21:44:17