19.06.2013 Views

Keadilan Transisional: sebuah tinjauan komprehensif - Elsam

Keadilan Transisional: sebuah tinjauan komprehensif - Elsam

Keadilan Transisional: sebuah tinjauan komprehensif - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Pada umumnya, skema-skema politis yang dibicarakan di sini dijustifikasi atas dasar<br />

demokrasi untuk mengkonstruksi suatu tatanan politik baru. Namun, ada pula tujuan-tujuan<br />

lain yang ingin dicapai masyarakat transisional dengan menata ulang layanan publik atas dasar<br />

politik, antara lain redistribusi. Pelucutan politik terhadap kelompok yang dibicarakan di atas<br />

mengoperasionalkan prinsip distributif untuk partisipasi politik atas dasar preferensi sistem<br />

poltitik. Misalnya, dekomunisasi atau diskualifikasi politik serupa dapat<br />

direkonseptualisasikan sebagai skema preferensi masif berdasarkan afiliasi politik. Argumen<br />

demikian diajukan dalam transisi di Afrika Selatan pasca-apartheid. 57 Syarat politik dapat<br />

dianggap sebagai preferensi. Apa justifikasi untuk keputusan kolektif atas dasar politik, seperti<br />

“affirmative action”? Bila sistem politik mengalami liberalisasi, kepentingan negara apakah<br />

yang menjustifikasi preferensi remedial atas dasar ketaatan politik?<br />

Preferensi transisional bisa dianalogikan dengan sistem patronase dalam demokrasi di<br />

masa lalu. Sementara kini terdapat prinsip anti-diskriminasi, dalam sejarahnya, patronase<br />

digunakan untuk mengorganisir sistem administrasi publik. Setelah Perang Dunia Kedua,<br />

diskriminasi oleh pemerintah atas dasar politik mengingatkan orang pada penindasan di masa<br />

lalu, sehingga dihilangkan dalam hampir semua hukum domestik dan internasional. Hampir<br />

semua perundang-undangan hak asasi manusia internasional pasca-perang menjamin<br />

perlindungan yang setara tanpa memandang afiliasi politik. Prinsip anti-diskriminasi<br />

menyatakan bahwa bila perundang-undangan melakukan diskriminasi atas dasar opini politik,<br />

harus ada kepentingan pemerintah yang amat besar. Dalam kondisi biasa, legitimasi<br />

konstitusional atas pelucutan politik demikian akan bergantung pada sifat justifikasi negara<br />

tersebut, tentang apakah ada kepentingan negara yang menjustifikasi pengabaian prinsip<br />

kesetaraan ini.<br />

Dari perspektif ini, pelucutan politik anti-komunis di Eropa Timur sering kali<br />

dirasionalisasi sebagai suatu bentuk affirmative action. 58 Argumennya adalah sebagai berikut:<br />

di Eropa pasca-komunis, menjadikan ketaatan pada sistem politik relevan dengan partisipasi<br />

dalam administrasi negara di masa depan tidak hanya berarti memberikan beban pada<br />

kebebasan beropini politik pada masa kini, namun juga memikul beban sejarah. Dalam transisi<br />

kontemporer, preferensi politik dijustifikasi, karena seperti masalah preferensi rasial di<br />

Amerika Serikat peninggalan sejarah sistem politik di Eropa Timur memiliki peran yang<br />

memecah belah dan menindas dalam sejarah wilayah ini. Bagaimanapun bentuk komitmen<br />

terhadap kesetaraan politik dalam rezim penerus, konteks sejarah untuk pembersihan sejarah<br />

di wilayah ini adalah masa-masa diskriminasi politik yang panjang. Bahkan, signifikansi<br />

diskriminasi politik dalam sejarah ini diakui oleh pengadilan konstitusional di wilayah ini<br />

dalam <strong>tinjauan</strong> mereka tentang tindakan penyaringan transisional. Dalam membela kebijakan<br />

lustrasi, pengadilan konstitusional Republik Ceko menyatakan:<br />

Sebuah negara demokratik ... tidak bisa tinggal diam bila semua posisi tertinggi dijabat<br />

berdasarkan kriteria politik. Sebuah negara demokratik wajib berusaha untuk menghilangkan<br />

preferensi yang tidak terjustifikasi terhadap sekelompok tertentu warga negara, berdasar pada<br />

prinsip keanggotaan pada partai politik tertentu, dan juga melenyapkan diskriminasi terhadap<br />

warga negara. 59<br />

57<br />

Lihat “Peace for Affirmative Action” New York Times, 21 Februari 1998, hal. A2.<br />

58<br />

Untuk analisis kritis, lihat John Elster, “On Doing What One Can”, East European Constitutional Review 1<br />

(1992): 15.<br />

59<br />

Constitutional Court Decision on the Screening Law.<br />

23

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!