19.06.2013 Views

Keadilan Transisional: sebuah tinjauan komprehensif - Elsam

Keadilan Transisional: sebuah tinjauan komprehensif - Elsam

Keadilan Transisional: sebuah tinjauan komprehensif - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

skema demokrasi militan, dalam ketiadaan tradisi demokrasi yang kuat, dapat mengancam<br />

demokrasi yang baru tumbuh. Bila kekuasaan konstitusional untuk menindas demikian tidak<br />

dibatasi, selain melalui interpretasi yudisial, sistem demokrasi tidak akan bertahan lama.<br />

Fenomena keterancaman transisional ini menimbulkan pertanyaan yang lebih luas,<br />

tentang apakah dan sejauh mana, sistem demokrasi perlu memberikan panduan normatif<br />

terhadap sistem politik pada dasar yang lebih permanen. Model pasca-perang yang diterapkan<br />

di Jerman bergantung pada badan peradilan untuk bisa bekerja. Interpretasi yudisial<br />

mencerminkan usaha untuk bergeser dari tuduhan kabur tentang “ekstremisme politik”, ke<br />

alasan yang lebih objektif, seperti kekerasan politik. Jurisprudensi konstitusional modern<br />

mencerminkan interpretasi ini. Meskipun standar konstitusional tentang pelarangan partai<br />

cenderung bergeser ke arah yang lebih liberal, melindungi kebebasan berserikat dan<br />

berekspresi, selalu terdapat bahaya politisasi sistem peradilan. Bahkan dalam sistem<br />

demokrasi yang mapan, terdapat masa-masa ketika pengadilan tinggi suatu negara cenderung<br />

rentan terhadap politisasi, seperti Mahkamah Agung Amerika Serikat pada masa Perang<br />

Dingin.<br />

Pertanyaan transisional yang ditimbulkan oleh kerangka demokrasi bersyarat ini juga<br />

timbul dalam pertanyaan serupa tentang penggunaan cara-cara serupa dalam negara liberal.<br />

Misalnya, contoh kontemporer pelarangan partai di Eropa dan Timur Tengah, seperti di<br />

Aljazair dan Turki, mengambil alasan ekstremisme dan faksionalisme religius. 94 Di seluruh<br />

Eropa, selalu terdapat partai-partai politik yang menyebut dirinya religius, sehingga timbul<br />

pertanyaan: di mana menarik batasnya? Bagaimana menyikapi partai-partai demikian dalam<br />

negara liberal? Dalam gelombang kontemporer transisi pasca-komunis, pertanyaan ini<br />

memiliki signifikansi besar. Politik identitas memberikan tantangan yang berat kepada negara<br />

yang sedang melakukan transisi, dengan konflik di Yugoslavia sebagai gambarannya yang<br />

terburuk. Namun, keadilan transisional menawarkan cara untuk merekonstruksi negara, tidak<br />

melalui politik identitas, namun melalui identitas politis dan juridis yang berdasarkan pada<br />

hak.<br />

Dilema transisional ini, meskipun terlihat dalam masa-masa luar biasa, menunjukkan<br />

ketegangan laten dalam teori demokrasi, yaitu potensi pertentangan antara proses dan tujuan<br />

demokratis. Konflik potensial ini sering tampak dalam pertanyaan tentang batasan toleransi<br />

dalam negara liberal. 95 Sebagai contoh, dalam The Law of the Peoples, John Rawls menentang<br />

pendekatan “toleransi” kepada ancaman-ancaman politis terhadap demokrasi. 96 Namun,<br />

ingatlah kembali dilema yang dibahas di bagian muka bab ini, tentang ketegangan dalam masa<br />

transisional, ketika dalam masa pergeseran dari represi di masa lalu, konstruksi demokrasi<br />

membutuhkan justifikasi untuk membatasi proses kaum mayoritas dan melakukan kompromi<br />

terhadap pandangan ideal tentang kedaulatan hukum. Ketegangan ini dirasionalkan dalam<br />

skema konstitusional yang didefinisikan oleh demokrasi militan, karena partai ekstremis harus<br />

ditekan, atau ia akan mengancam tatanan politik. Dalam pandangan ini, hanya penindasan<br />

94 Lihat Kelly Couturier, “Turkey Bans Islam-Based Political Party”, Washington Post, 17 Januari 1998, hlm.<br />

A20. Tentang pembubaran Partai “Kesejahteraan”, lihat http://www.turkey.org/turkey/politics/p-party.htm.<br />

95 Lihat Michael Walzer, On Toleration, New Haven: Yale University Press, 1997. Untuk pembicaraan terkait<br />

tentang agama. lihat Ruti Teitel, “A Critique on Religion as Politics in the Public Sphere”, Cornell Law Review<br />

78 (1993): 747.<br />

96 Lihat John Rawls, “The Law of Peoples”, dalam Stephen Shute dan Susan Hurley (eds.), On Human Rights:<br />

The Oxford Amnesty Lectures, 1993, New York: Basic Books, 1993. Lihat juga Yael Tamir, Liberal Nationalism,<br />

Priceton: Princeton University Press, 1993.<br />

36

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!