12.11.2015 Views

KONSTITUSIONALISME AGRARIA

1TBacat12

1TBacat12

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

temurun (erfelijk individueel gebruiksrecht) dan kemudian sebagai<br />

hak menguasai tanah domein negara (Inlands bezitrecht).<br />

Mengenai hubungan penguasaan kolonial atas tanah dengan<br />

penguasaan pribumi menjadi tema perdebatan pada kalangan<br />

akademisi yang banyak mempengaruhi kebijakan kolonial di negeri<br />

jajahannya. Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan<br />

domain negara termasuk tanah-tanah yang tidak dimanfaatkan<br />

oleh penduduk pribumi atau termasuk pula tanah-tanah yang<br />

dimanfaatkan, meskipun tidak intensif? Suatu penafsiran yang<br />

belum begitu jelas mengenai cakupan keberlakuan dari Prinsip<br />

Domein Verklaring tersebut kemudian membuat penguasa kolonial<br />

menyiapkan suatu cara penafsiran yang resmi. Cara itu dilakukan<br />

dengan meminta G.J. Nolst Trenité, seorang penasihat pemerintah<br />

dan juga pengajar di Universitas Utrecht untuk menyiapkan sebuah<br />

memorandum yang kemudian dikenal dengan Domeinnota pada<br />

tahun 1912. Melalui Domeinnota tersebut, Trenité menafsirkan<br />

bahwa tanah negara tidak bebas (onvrij landsdomein) berlaku pada<br />

tanah-tanah yang tidak dimanfaatkan secara permanen. Tanah-tanah<br />

yang tidak dimanfaatkan secara tetap tersebut, misalkan hutan dan<br />

perladangan berpindah kemudian dianggap sebagai “tanah liar”,<br />

“tanah kosong”, atau “tanah terlantar” (woste gronden).<br />

Cara pandang demikian kemudian ditentang oleh Cornelis<br />

van Vollenhoven yang menghendaki adanya pengakuan terhadap<br />

hubungan-hubungan hukum antara penduduk pribumi dengan<br />

tanahnya yang sudah berlangsung secara tradisional. Van Vollenhoven<br />

menyebutkan hubungan hukum penduduk pribumi dengan tanahnya<br />

tersebut sebagai beschikkingsrecht yang dalam kepustakaan dan<br />

kebijakan pada masa Republik Indonesia sering disebut sebagai<br />

hak ulayat. Penentangan inilah yang kemudian menimbulkan<br />

polemik dan pandangan terkelompok menjadi dua kubu antara<br />

kubu Leiden vs kubu Utrecht. Kubu Leiden menghendaki tafsir<br />

yang sempit terhadap Domein Verklaring, sedangkan kubu Utrecht<br />

sebaliknya. 70 Universitas Leiden memiliki Fakultas Indologi dan<br />

70<br />

Mengenai debat ini lebih lanjut baca Burns, P. 2004. The Leiden legacy: Concepts of<br />

law in Indonesia. Leiden: KITLV Press<br />

Konstitusionalisme dan Reforma Agraria 377

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!