prosidingshn2014
prosidingshn2014
prosidingshn2014
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus<br />
menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka<br />
tentang persoalan ini. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai<br />
kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkan<br />
didukung secara tidak langsung oleh negara melalui muatan dalam<br />
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP<br />
kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran<br />
terhadap kesusilaan. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat<br />
perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa<br />
kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata. Sikap korban<br />
membungkam justru pada banyak kesempatan didukung, bahkan<br />
didorong oleh keluarga, orang-orang terdekat, dan masyarakat<br />
sekitarnya. Konteks moralitas ini pula yang menjadikan kekerasan<br />
seksual lebih sering dipahami sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan<br />
semata.<br />
Di satu sisi, pemahaman sebagai masalah kesusilaan<br />
menyebabkan kekerasan seksual dipandang kurang penting<br />
dibandingkan dengan isu-isu kejahatan lainnya seperti pembunuhan<br />
ataupun penyiksaan. Padahal, pengalaman korban kekerasan seksual<br />
menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menghancurkan seluruh<br />
integritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu melanjutkan<br />
hidupnya lagi. Aspek khas dari kekerasan seksual terkait dengan<br />
wacana moralitas juga menjadi salah satu hambatan terbesar dalam<br />
upaya korban memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan dan<br />
pemulihan. Pengaitan peristiwa kekerasan seksual dengan persoalan<br />
moralitas menyebabkan korban membungkam dan korban justru<br />
disalahkan atas atas kekerasan yang dialaminya. Karena apa yang<br />
dialami korban dimaknai sebagai “aib”, tidak saja bagi dirinya tetapi<br />
juga bagi keluarga dan komunitasnya, korban seringkali dikucilkan.<br />
Ada pula korban yang diusir dari rumah dan kampungnya karena<br />
dianggap tidak mampu menjaga kehormatan dan merusak nama baik<br />
keluarga ataupun masyarakat.<br />
Pengucilan dan stigmatisasi atau pelabelan dirinya sebagai<br />
“barang yang rusak” akibat kekerasan seksual itu bahkan dapat<br />
berlangsung sekalipun korban memenangkan kasusnya di pengadilan.<br />
Korban kerap dituduh membiarkan peristiwa kekerasan tersebut ketika<br />
ia dianggap tidak berupaya untuk melawan pelaku, menempatkan<br />
dirinya terus-menerus gampang direngkuh pelaku, ataupun terbuai<br />
dengan iming-iming pelaku.<br />
Landasan Hukum untuk Jaminan Perlindungan dari Tindak<br />
Kekerasan Seksual Nasional:<br />
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 285, 286, 287,<br />
290, dan 291;<br />
124