prosidingshn2014
prosidingshn2014
prosidingshn2014
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
KOMISI 2<br />
FORMIL<br />
<br />
Poin 8.1 Etika Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan<br />
Kehakiman) penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak berperspektif<br />
kepada korban.<br />
Rekomendasi<br />
8.1.1 Mengoptimalisasikan “Pendidikan Penanganan Kasus Kekerasan<br />
Seksual” kepada Aparat Penegak Hukum (APH).<br />
8.1.2 Penyesuaian kode etik bagi Aparat Penegak Hukum (APH) yang<br />
berperspektif kepada korban kekerasan seksual.<br />
8.1.3 Mengadakan revisi terhadap PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang<br />
Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia<br />
mengenai Sanksi, yang bertujuan untuk memperberat ancaman<br />
pidana terhadap para pelaku kejahatan kekerasan seksual.<br />
8.1.4 Mengoptimalisasikan penerapan PERKAP Nomor 10 Tahun 2007<br />
tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan<br />
Anak (Unit PPA) di lingkungan Kepolisian Negara Republik<br />
Indonesia yang telah direvisi dan juga melakukan sosialisasi di<br />
seluruh wilayah Indonesia.<br />
Kasus kekerasan seksual merupakan kasus yang sangat kompleks dan<br />
tidak mudah ditangani. Aparat penegak hukum membutuhkan perspektif<br />
yang luas dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual. Seringkali<br />
hakim yang kurang berpengalaman terpengaruh oleh prejudicial evidence<br />
tentang karakter buruk si tersangka. Pada kasus sidang perkosaan, mereka<br />
dapat terpengaruh oleh karakter baik si pelaku perkosaan, sebaliknya,<br />
sekaligus mempersoalkan karakter buruk masa lalu atau kredibilitas<br />
korban. Diragukannya kredibilitas korban misalnya tampak dari ditelitinya<br />
secara berlebihan pesetujuan (consent) korban, aturan lajang-perawankorban,<br />
dan riwayat perilaku seksual sebelumnya. Perempuan lajang yang<br />
bukan perawan dipandang lebih mungkin menyatakan persetujuannya<br />
untuk melakukan hubungan seksual dibandingkan dengan lajang-perawan.<br />
Riwayat perilaku seksual sebelumnya juga menyulitkan pembuktian<br />
perkosaan korban dewasa yang telah saling mengenal sebelumnya<br />
(sehingga memicu tuduhan suka sama suka) ataupun perkosaan dengan<br />
korban anak-anak. Hal tersebut juga menyulitkan mereka yang kebetulan<br />
berprofesi sebagai pelacur, yang dianggap “kurang masuk akal” untuk tidak<br />
consent terhadap relasi seksual pasca-menerima uang jasa dari laki-laki<br />
yang menyetubuhinya. 15 Berkaca pada Amerika, ketentuan uji perilaku<br />
yang berat sebelah seperti itu telah dicabut tahun 1974-1975 di beberapa<br />
15 Ibid, hlm. 131.<br />
196