prosidingshn2014
prosidingshn2014
prosidingshn2014
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang bukan<br />
istrinya, padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan<br />
pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling<br />
lama sembilan tahun.” 8<br />
Pengaturan pada pasal ini ialah apabila pelaku kekerasan terhadap<br />
perempuan melakukan pemenuhan hasrat seksualnya bukan dengan<br />
cara kekerasan atau ancaman kekerasan, melainkan dengan cara<br />
meminumkan suatu zat atau obat yang membuat korbannya pingsan<br />
atau tidak berdaya, pelaku dapat diancam dengan pidana penjara<br />
paling lama sembilan tahun.<br />
I. Perlindungan dan Pembinaan Korban Kekerasan Seksual<br />
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa korban<br />
perkosaan adalah seorang perempuan yang pada umumnya mempunyai<br />
sifat kejiwaan yang lemah. Pascakejahatan perkosaan yang menimpa<br />
dirinya telah menimbulkan berbagai tekanan baik yang terjadi secara<br />
langsung maupun tekanan dalam jangka panjang. Tekanan yang terjadi<br />
secara langsung merupakan reaksi paska perkosaan seperti perasaan<br />
malu, takut, kesakitan fisik dan tidak berdaya. Sedangkan tekanan<br />
jangka panjang yang jelas akan mempengaruhi masa depan mereka<br />
adalah gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu<br />
trauma yang memulihkan atau membangkitkan kepercayaan diri mereka<br />
dalam bersosialisasi dengan masyarakat.<br />
I.S. Susanto berpendapat, “Kejahatan kekerasan terhadap<br />
wanita, khususnya perkosaan di satu sisi dipandang sebagai kejahatan<br />
yang sangat merugikan dan mencemaskan, bukan saja wanita tetapi<br />
juga masyarakat dan kemanusiaan, namun di sisi lain terdapat realitas<br />
sosial-budaya yang justru “menyuburkan” perkosaan seperti mitosmitos<br />
yang berkaitan dengan jenis kelamin, “budaya diskriminatif”,<br />
“budaya tukang sulap”, budaya hukum yang “tidak adil.” 9<br />
Praktek peradilan di Indonesia belum sepenuhnya memberikan<br />
jaminan perlindungan hukum terhadap korbannya yaitu perempuan.<br />
Pada tahap pemeriksaan terhadap korban kejahatan seperti korban<br />
perkosaan dilakukan dengan tidak memperhatikan hak-hak asasi<br />
korban. Sedangkan pada tahap penjatuhan putusan hukum oleh hakim,<br />
korban kembali dikecewakan karena putusan yang dijatuhkan pada<br />
pelaku cukup ringan atau jauh dari memperhatikan hak-hak asasi<br />
perempuan.<br />
Di Indonesia, hingga saat ini perlindungan hukum dan<br />
pembinaan korban kekerasan seksual sangat disayangkan, karena masih<br />
hlm. 74.<br />
8 Ibid., pasal 286 KUHP.<br />
9 Susanto, I.S., Kriminologi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011),<br />
50