prosidingshn2014
prosidingshn2014
prosidingshn2014
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
ranah personal artinya kekerasan seksual dilakukan oleh orang yang<br />
memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek),<br />
kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan<br />
korban. Banyaknya jumlah kasus di tingkat personal bisa jadi terkait<br />
dengan kehadiran payung hukum, yaitu UU. No. 23 tahun 2004 tentang<br />
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang telah<br />
disosialisasikan secara meluas ke masyarakat, bertambahnya lembagalembaga<br />
yang dapat diakses oleh perempuan korban, serta<br />
meningkatnya kepercayaan korban pada proses keadilan dan pemulihan<br />
yang dapat ia peroleh dengan melaporkan kasusnya itu.<br />
Jumlah kedua adalah kasus-kasus kekerasan seksual yang<br />
terjadi di ranah publik, yaitu 22.284 kasus. Di ranah publik berarti kasus<br />
dimana korban dan pelaku tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah<br />
ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga,<br />
guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak<br />
dikenal. Dalam berbagai dokumentasi, ditemukan pula bahwa pelaku<br />
kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Jumlahnya<br />
mencapai 1.561 kasus. Dalam konteks pelaku adalah aparat negara<br />
dalam kapasitas tugasnya inilah yang dimaksudkan sebagai ranah<br />
negara. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada<br />
peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namun<br />
tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak<br />
kekerasan tersebut berlanjut.<br />
Upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan<br />
hukum terhadap korban kekerasan seksual dapat mencakup:<br />
a. Pada waktu korban melapor perlu ditempatkan di Ruang Pelayanan<br />
Khusus (RPK) yang merupakan sebuah ruang khusus yang tertutup<br />
dan nyaman di kesatuan Polri, dimana perempuan dan anak yang<br />
menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual dapat melaporkan<br />
kasusnya dengan aman kepada Polwan yang empatik, penuh<br />
pengertian dan profesional;<br />
b. Upaya pendampingan sangat dibutuhkan selama proses persidangan<br />
mengingat korban dapat/harus dipertemukan dengan pelaku yang<br />
dapat membuat korban trauma sehingga akan mempengaruhi<br />
kesaksian yang akan diberikan dalam persidangan;<br />
c. Setelah pelaku dijatuhi hukuman oleh hakim, maka korban berhak<br />
mendapatkan perlindungan yang antara lain: mendapatkan<br />
nasihathukum, dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup<br />
sementara sampai batas waktu perlindungan akhir.<br />
Aparat penegak hukum dalam memberi pelayanan dan<br />
perlindungan kepada korban kekerasan seksual seyogyanya dilandasi<br />
oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak<br />
hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan<br />
Undang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan sangkaan pasal<br />
127