prosidingshn2014
prosidingshn2014
prosidingshn2014
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
risilessureng macoana letih‟ ga riworoanena) (Maria<br />
Josephine Mantik, 2013)<br />
Apa yang disampaikan Maria ini juga sesuai dengan<br />
pandangan Rafles yang menyatakan: Ibu adalah jendela pertama bagi<br />
seorang bayi, dan menjadi pengontrol bagi suaminya. Ketika bayi lahir,<br />
Ibu memainkan peranan penting dalam memperkenalkan bayi kepada<br />
dunia. Masa depan anak sangat tergantung pada ibu. Sikap, pandangan<br />
dan seluruhnya semua diperoleh sang bayi dari seorang ibu. Seorang ibu<br />
yang sempurna akan lebih baik dari seribu guru. (Thomas Stamford<br />
Rafles, 2008).<br />
Dari pandangan kultural-antropologis ketiga etnis yang<br />
mewakili keberagaman masyarakat Indonesia, dapat disimpulkan bahwa<br />
secara normatif masyarakat Indonesia menempatkan posisi terhormat<br />
kepada kaum perempuan, seperti tercermin dalam berbagai mitos dan<br />
legenda yang ada di masyarakat Indonesia. Namun secara faktual, peran<br />
dan posisi perempuan yang terhormat dan mulia itu justru tidak terlihat.<br />
Sebaliknya perempuan justru ditempatkan pada posisi rendah dan<br />
dipandang sebelah mata sebagaimana tercermin dalam relasi dan<br />
konstruksi sosial yang timpang, ditandai dengan menguatnya budaya<br />
patriarkhi di kalangan masyarakat Indonesia. Bisa dikatakan, telah<br />
terjadi sikap dan corak pemikiran yang ambigu di kalangan masyarakat<br />
Indonesia terhadap perempuan.<br />
Meski banyak berbicara soal perempuan, namun hampir tidak<br />
ditemukan wacana mengenai relasi seks dalam narasi masyarakat<br />
Nusantara. Ini terjadi karena secara umum masyarakat Indonesia<br />
beranggapan bahwa seks adalah sesuatu yang suci dan mulia, sehingga<br />
menjadi tabu untuk dibicarakan dalam wilayah publik. Sejauh<br />
penelurusan saya, hanya menemukan satu kitab/serat yang secara<br />
spesifik berbicara mengenai masalah hubungan seksual, yaitu Serat<br />
Centhini.<br />
Meski kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton bersifat<br />
represif-feodalistik, dan berpandangan pejoratif terhadap perempuan,<br />
namun dalam bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kita<br />
bayangkan. Masalah seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama<br />
sastra dan tari (Otto Sukatno, 2001). Artinya corak pemikiran yang<br />
memandang rendah kaum perempuan ternyata tidak sebanding dengan<br />
sikap dan pandangan mereka terhadap perilaku seksual. Hubungan<br />
seksual tetap dipandang sebagai ekspresi seni dan puncak keindahan<br />
yang harus diberlakukan secara baik dan mulia.<br />
Paparan diatas menunjukkan bahwa seksualitas merupakan<br />
sesuatu yang mulia, oleh karenanya kekerasan seksual tetap dipandang<br />
sebagai suatu tindakan biadab yang menyimpang dan melanggar etika<br />
sosial. Bisa dikatakan bahwa meski secara sosial budaya masyarakat<br />
19