prosidingshn2014
prosidingshn2014
prosidingshn2014
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Dalam sejumlah kasus pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual<br />
pelakunya justru orang-orang yang terhormat atau yang dianggap<br />
terhormat oleh masyarakatnya atau bermoral tinggi. Komnas<br />
Perempuan mencatat bahwa pelaku kekerasan seksual sangat beragam:<br />
ada tokoh masyarakat, pejabat Negara, pejabat NKRI, anggota<br />
parlemen, tokoh agama, dan lain-lain. Bahkan, sebagaimana dilansir<br />
media massa, seorang pengasuh pesantren di daerah Jawa Timur,<br />
ditangkap polisi karena mencabuli beberapa santrinya sendiri. Beberapa<br />
hari ini media massa melansir seorang Raja yang sangat dihormati<br />
diduga melakukan kekerasan seksual. Lalu bagaimana kita<br />
mendefiniskan orang yang bermoral baik sebelum ia melakukan suatu<br />
tindakan? Fakta-fakta ini jelas telah menggugurkan argumen<br />
“moralitas” tersebut. (Baca: Catahu Komnas Perempuan, 2013).<br />
Kekerasan seksual adalah satu bagian saja dari kekerasan<br />
terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan didefinisikan<br />
sebagai: “Setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender<br />
yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan<br />
perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman<br />
terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan<br />
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di<br />
dalam kehidupan pribadi”. (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap<br />
Perempuan, Pasal 1)<br />
Maka, kekerasan seksual terhadap perempuan berakar lebih<br />
pada adanya ketimpangan relasi kuasa yang berbasis gender. Ia adalah<br />
sistem sosial-budaya patriarki; sebuah sistem/ideologi yang<br />
melegitimasi laki-laki sebagai pemegang otoritas dan superioritas,<br />
menguasai, kuat, pintar dan sebagainya. Dunia dibangun dengan cara<br />
berpikir, dalam dunia dan untuk kepentingan laki-laki. Keyakinan<br />
bahwa perempuan secara kodrat adalah makhluk yang lembut dan<br />
lemah, posisinya di bawah laki-laki, inferior, melayani hasrat seksual<br />
laki-laki dan sebagainya telah menempatkan perempuan seakan-akan<br />
sah untuk ditaklukkan dan diperlakukan secara seenak laki-laki,<br />
termasuk dengan cara-cara kekerasan. Ideologi yang bias gender dan<br />
patriarkis ini mempengaruhi cara berfikir masyarakat, mempengaruhi<br />
penafsiran atas teks-teks agama dan kebijakan-kebijakan negara.<br />
Pengaruh ini melampaui ruang-ruang dan waktu-waktu kehidupan<br />
manusia, baik dalam domain privat (domestik) maupun publik.<br />
Ketimpangan yang didasarkan atas system sosial/ideologi inilah yang<br />
pada berpotensi menciptakan ketidakadilan, subordinasi dan dominasi<br />
atas perempuan. Dan semuanya ini merupakan sumber utama tindak<br />
kekerasan terhadap perempuan.<br />
Ketimpangan relasi kuasa berbasis gender tersebut diperparah<br />
ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban, baik<br />
ekonomi, pengetahuan, status sosial dan lain-lainnya. Kendali muncul<br />
3