prosidingshn2014
prosidingshn2014
prosidingshn2014
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Simposium Hukum Nasional 2014<br />
Rekomendasi 5.2 Mempertegas definisi dan kategorisasi daripada cabul,<br />
baik itu di dalam ketentuan umum atau penjelasan Pasal.<br />
Pasal 289 KUHP tidak menguraikan secara jelas dan detil mengenai<br />
definisi dan syarat-syarat terjadinya perbuatan cabul serta kategorisasi<br />
perkosaan yang sangat berhubungan dengan hal tersebut. Dalam penjelasan<br />
pasal 289 KUHP oleh R. Soesilo hanya dikatakan bahwa “perbuatan cabul<br />
adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau<br />
perbuatan yang keji, yang masuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin,<br />
misalnya cium-ciuman, meraba-raba kemaluan atau buah dada.”<br />
Pencabulan sendiri merupakan bagian dari pelecehan seksual. Pelecehan<br />
seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui<br />
kontak fisik maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual<br />
atau seksualitas seseorang, termasuk dengan menggunakan siulan, main<br />
mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materimateri<br />
pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian<br />
tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan<br />
rasa tidak nyaman, tersinggung merasa direndahkan martabatnya, dan<br />
mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. 13<br />
KUHP tidak mengenal istilah pelecehan seksual tetapi hanya perbuatan<br />
cabul. Akan tetapi, tidak terdapat ketentuan yang tegas mengenai definisi<br />
dan syarat-syarat terjadinya perbuatan cabul yang dimaksud oleh pembuat<br />
pasal ini sehingga menuai banyak perbedaan pendapat dan kontroversi di<br />
kalangan penegak hukum.<br />
Perihal keterkaitannya dengan perkosaan, perkosaan dilihat dari<br />
dibuktikannya persetubuhan paksa dan akibatnya, seperti penyakit menular<br />
seksual, gangguan disfungsi seksual, dan PTRS (Post Traumatic Stress<br />
Disorder). Apabila secara forensik praktis unsur persetubuhan dalam<br />
batasan perkosaan tidak terbukti, maka tindak pidana tersebut masuk ke<br />
dalam kategori pencabulan. 14 Dengan demikian, sebaiknya dibuat ketentuan<br />
yang mempertegas definisi dan syarat-syarat terjadinya perbuatan cabul<br />
serta kategorisasi perkosaan yang masuk ke dalam ruang lingkup pasal ini.<br />
6. PASAL 294<br />
Poin 6.1 Sanksi pidana lebih rendah.<br />
13 Komnas Perempuan, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan<br />
Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM Perempuan Selama Konflik Bersenjata<br />
di Poso 1998-2005, Komnas Perempuan, 2009, hal. 132 dan rumusan yang<br />
dikembangkan Rifka Annisa Women‟s Crisis Centre dalam Lusia Palulungan, “Bagai<br />
Mengurai Benang Kusut: Bercermin Pada Kasus Rieke Dyah Pitaloka, Sulitnya<br />
Pembuktian Pelecehan Seksual, Tatap: Berita Seputar Pelayanan”, Komnas<br />
Perempuan, 2010, hal. 9<br />
14 Prof. Agus Purwadianto, Op. Cit, hlm. 78-79.<br />
193